Peniadaan disinsentif berbayar ternyata hanya bersifat sementara. UGM juga menolak mengembalikan uang hasil pungutan disinsentif berbayar kepada negara.
Natasya Primatyassari baru saja pulang dari kampusnya pada Jumat (30/11) Sore. Tepat di depan portal boulaverd UGM, Mahasiswa Jurusan Pariwisata â12 ini menghentikan sepeda motornya. Ia mengeluarkan selembar karcis kuning lalu memberikannya kepada petugas SKKK yang sedang berjaga. Natasya pun memacu kembali sepeda motornya tanpa memberikan uang seribu rupiah. Biasanya, Ia harus merelakan tiga sampai empat lembar uang seribu untuk membayar disinsentif KIK. âSoalnya, sehari bisa tiga sampai empat kali keluar-masuk kampus,â tuturnya.
Sejak senin (26/11) lalu, pungutan disinsentif berbayar KIK memang ditiadakan. Menurut Wijayanti, Kepala Humas UGM, kebijakan tersebut adalah tindak lanjut pihak UGM atasrekomendasi OmbudsmanRepubilk Indonesia (ORI). Kendaraan yang masuk kawasan UGM hanya akan ditulis plat nomornya dan diberikan karcis. Nantinya karcis itu dikembalikan saat keluar.
Sayangnya, UGM tidak bersedia memenuhi sepenuhnya rekomendasi ORI. Peniadaan disinsentif berbayar tersebut hanya bersifat sementara. Menurut Wijayanti, pihak UGM masih memikirkan langkah yang akan diambil untuk menggantikan disinsentif berbayar KIK. âKita coba dulu menghentikan disinsentif sesuai rekomendasi ORI, nanti dampaknya akan dievaluasi untuk menentukkan kebijakan selanjutnya,â terangnya.
Menurut Wijayanti, salah satu alternative kebijakan yang mungkin akan diambil adalah diberlakukannya kartu Smartcard. Kartu ini akan diberikan kepada mahasiswa, karyawan, maupun dosen yang berkepentingan di UGM. Bentuknya adalah kartu identitas âorangâ dan bukan identitas kendaraan semata seperti KIK. âNantinya Smartcard dapat digunakan untuk semua fasilitas kampus sepert tempat parkir, perpustakaan, sepeda kampus, dan lain-lain,â paparnya. âTapi kebijakan ini belum pasti karena harus menunggu evaluasi dulu,â tambahnya lagi. Wijayanti juga memastikan, sebelum enam puluh hari sejak rekomendasi ORI sudah akan ada kebijakan baru.
Selain mencabut disinsentif KIK, ORI juga memerintahkan UGM untuk mengembalikan uang hasil pungutan yang telah terkumpul kepada Kementerian Keuangan. Namun UGM tidak bersedia menjalankan rekomendasi tersebut. Pasalnya, menurut Wijayanti, UGM sebagai Badan Hukum Milik Negara mengkategorikan disinsentif sebagai pendapatan bukan pajak. âKami akan menjelaskan pada ORI bahwa pendapatan seperti itu boleh dikelola UGM secara mandiri,â jelasnya.
Tindakan yang diambil UGM dalam menyikapi rekomendasi ORI tersebut mendapat tanggapan dari elemen mahasiswa. Menurut Endhi Wirawan selaku sekjen Dewan Mahasiswa Fakultas Hukum, bila Ombudsman sudah memberi rekomendasi kepada UGM, sebaiknya rekomendasi itu dilaksanakan. âIni kan menyangkut nama baik UGM juga,â katanya. Endhi juga mempertanyakan sikap UGM yang tidak mau mengembalikan pendapatan disinsentif KIK. Pasalnya, Ombudsman memang punya hak untuk memberi rekomendasi yang harus dipatuhi lembaga pelayanan masyarakat, terutama dalam ranahan administrasi negara.
Langkah selanjutnya yang akan diambil UGM terkait kebijakan KIK memang benar-benar mesti mempertimbangkan mahasiswa. Natasya misalnya, mengaku keberatan jika harus mengeluarkan uang untuk masuk ke lingkungan kampus. âKita masuk UGM sudah bayar, kuliah juga bayar, masak masuk kampus sendiri mesti bayar lagi? Kasihan juga kanmasyarakat sekitar yang harus bayar kalo lewat kawasan UGM,â cetusnya.
Natasya juga berharap agar pihak rektorat bisa mencari solusi yang tepat untuk mengendalikan laju kendaraan di lingkungan Kampus. âKan bisa dengan cara ngasih stiker buat kendaraan mahasiswa, atau cukup dengan nunjukin KTM,â harapnya. [Hamzah Zhafiri Dicky, Ibnu Hajjar]