Permasalahan korupsi, kemiskinan, atau kekerasan lekat dengan anggapan khalayak tentang Papua. Meski begitu, sejumlah kalangan dari pemerintah daerah (pemda) atau masyarakat setempat mengupayakan untuk mengatasi masalah itu melalui pelayanan publik yang baik. Hal tersebut menjadi bahan ulasan pada seminar bertajuk “Membangun Optimisme di Tanah Papua: Belajar dari Praktik Baik Pelayanan Publik” yang berlangsung pada Selasa (27/11). Seminar yang berlokasi di Ruang Seminar Pascasarjana FISIPOL UGM itu diadakan oleh FISIPOL UGM dalam rangka Dies Natalis FISIPOL yang ke-57. Sejumlah pembicara datang pada acara ini, diantaranya Prof. Dr. H. Djohermansyah Djohan, MA selaku Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Indonesia, Adriana Elisabeth, M. Sos.Sc dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan (JPP) UGM, Cornelis Lay. Pembicara lain seperti Victor Mambor yang menjabat Pemred Tabloid Jubi, Harry Nenobais dari SMA Pelayanan Desa Terpadu (Pesat) di Nabire, dan dr. Iras Rumbiok, Sp. PK, Direktur RSUD Biak Numfor turut hadir untuk menjabarkan pelayanan publik di bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Implementasi pelayanan publik yang baik di Papua berkaitan dengan kondisi pasca otsus. Djohermansyah mengaku pihaknya telah melakukan evaluasi terhadap pemberlakuan otsus di Papua. “Pelaksanaan kebijakan otsus di Papua ternyata belum dapat dikatakan berhasil. Dari aspek kebijakan pemerintah, Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi) belum diselesaikan secara menyeluruh. “Pola serta mekanisme kerja juga belum terbangun secara sinergis,” jelasnya. Adapun evaluasi tersebut baru didapat setelah 11 tahun implementasi otsus berjalan di Provinsi Papua dan empat tahun di Provinsi Papua Barat. Padahal berdasarkan UU nomor 21 Tahun 2001, evaluasi tersebut harus dilakukan setiap tiga tahun.
Sebagai anggota Papua Road Map LIPI, Adriana menerangkan bahwa kegagalan pembangunan merupakan salah satu dari masalah utama pelaksanaan otsus di Papua. Kegagalan ini berkaitan dengan orientasi kepemimpinan dan praktik korporatisasi pemerintahan yang buruk. “Praktik korporasi pemerintahan ini terjalin antara birokrat, politisi, dan pengusaha. Di Papua, praktik itu berjalan kurang baik dilihat dari kriteria kinerja birokrat Papua yang buruk, korupsi dan inefisiensi pembangunan, penegakan hukum yang lemah, serta rendahnya pemberdayaan masyarakat,” tegasnya. Kegagalan itu, menurut Adriana, melahirkan apatisme masyarakat, konflik, serta hubungan yang buruk antara rakyat dan pemerintah. “Maka, solusi berupa paradigma baru pembangunan di Papua yang mengacu pada pembangunan berbasis manusia serta pendekatan perdamaian dan pembangunan perlu dilakukan,” tambahnya.
Kondisi yang belum stabil di Papua tersebut mendorong beberapa orang untuk mengupayakan praktik pelayanan publik yang baik. Di sektor ekonomi, Victor memaparkan langkah-langkahnya dalam mengembangkan pelayanan berdasarkan sumber daya yang ada. Menurut Victor, pembangunan infrastruktur dan pembinaan masyarakat Papua di bidang ekonomi terus ditingkatkan. Di samping itu, pemerintah berupaya memperluas akses akan investasi dan mebuat regulasi yang menciptakan iklim usaha. Upaya-upaya tersebut pun membuahkan hasil. “Pertumbuhan ekonomi daerah mencapai 6,4% dan ketersediaan listrik serta transportasi sudah sampai ke desa. Anak-anak asli Papua juga sebagian besar kuliah di perguruan tinggi,” imbuh Victor.
Sekolah berbasis asrama yang didirikan oleh Yayasan Pesat di pedalaman Papua menjadi bukti pelayanan publik di bidang pendidikan. “Tahun 1996 didirikan sekolah berpola asrama bernama SD Agape. Bulan Agustus 1997 didirikan TK Cendrawasih di pedalaman Paniai, Kabupaten Intan Jaya. Lebih lanjut, Yayasan Pesat terus mengembangkan layanan pendidikan pola asrama sampai ke tingkat SMP dan SMA pada tahun 2004,” kata Harry. Harry menuturkan sistem asrama dipilih agar pengawasan terhadap siswa dari segi rohani, fisik, karakter, serta intelektual semakin mudah. “Pemda provinsi kemudian menjadikan sistem asrama ini menjadi model untuk meningkatkan mutu pendidikan di seluruh kampung Papua,” tambahnya.
Pelayanan publik yang baik di bidang kesehatan diwujudkan dalam pengelolaan RSUD. Menurut Iras, keberadaan RSUD Biak Numfor memberikan manfaat bagi pemerataan fasilitas kesehatan khususnya warga di daerah pesisir. “Rumah Sakit RSUD Biak dapat mempertahankan dan meningkatkan harapan masyarakat melalui jasa pelayanan rawat inap dan rawat jalan. Akibatnya, mutu pelayanan RSUD dapat mencapai angka cakupan di atas standar Depkes RI, yaitu kenaikan prosentase rawat jalan sebesar 9%, dan pelayanan rawat inap meningkat sebesar 2,5% dari standar Kementrian Kesehatan RI,” ujar Iras.
Arie Ruhdiyanto, M. Sc, ketua panitia, mengatakan seminar ini dilaksanakan untuk menunjukkan praktik pelayanan publik yang baik. “Permasalahan kemiskinan, HIV/AIDS, pendidikan, dan lain sebagainya kerap menjadi bahan perbincangan terkait Papua. Padahal banyak praktik baik yang dilakukan di sana, salah satunya lewat pelayanan publik,” beber Arie. Ia berharap praktik tersebut mampu menumbuhkan optimisme dalam menghadapi permasalahan di Papua. [Nindias Nur Khalika]