Migrain atau nyeri kepala sebelah merupakan penyakit yang sering terjadi namun kerap diabaikan di kalangan mahasiswa. Minimnya atensi ini disebabkan asumsi yang menilai migrain bisa disembuhkan tanpa perlu berobat ke dokter. Padahal, tanpa penanganan yang tepat migrain bisa sangat menganggu aktivitas sehari-hari. Tema besar inilah yang diulas dalam talkshow “Meneropong Problem Migrain Pada Remaja,” Sabtu (24/11). Acara yang berlangsung di Auditorium Margono Soeradji FKG UGM tersebut diselenggarakan oleh GMC Health Center UGM bekerjasama dengan BEM FK UGM. Tiga pembicara hadir dalam talkshow tersebut. Diantaranya Ketua Tim Blok Neurology, Psychiatry, and Behaviour FK UGM, Dr. Ismail Setyopranoto, Sp.S (K). Hadir pula anggota Unit Epidemiologi Klinik dan Biostatistik, Dr. Rizaldy Pinzon, M.Kes, Sp.S. serta dosen Psikologi, Dra. Noor Rahmani, M.Sc. Wurandika Choliridanti, Diajeng DIY 2012 turut memeriahkan acara tersebut.
Nyeri kepala adalah penyakit yang paling sering dikeluhkan pasien saat berkonsultasi dengan dokter. Meski demikian, hanya sedikit penderita nyeri kepala yang tahu bahwa ia terkena migrain. “Padahal migrain sendiri cukup mudah dikenali dari gejalanya,” kata Ismail. Ia menerangkan pada fase awal, penderita migrain akan mengalami depresi, gelisah, dan mengantuk. “Ciri lain yang khas dari gejala migrain adalah penderita mengalami photophobia (rasa tidak nyaman melihat cahaya terang) dan phonophobia (rasa tidak nyaman mendengar suara keras),” jelasnya.
Menurut Rizaldy, terdapat perbedaan rasa nyeri kepala karena salah tidur dengan migrain. Ia menegaskan kembali bahwa ciri utama migrain adalah adanya nyeri kepala yang disertai photophobia dan phonophobia. “Jika kita salah tidur, paling hanya akan merasa otot kaku dan itu bukanlah gejala migrain,” jelas Rizaldy.
Satu faktor pemicu migrain yang paling sulit dihindari adalah stres. Untuk mengatasinya, menurut Noor, orang harus mengetahui pusat kontrol stres terlebih dahulu. Pusat kontrol stres tersebut terdiri dari dua jenis, yakni pusat kontrol internal dan eksternal. Kontrol stres internal merujuk pada kondisi di mana seseorang bertanggung jawab atas kejadian yang menimpanya. Sebaliknya, kontrol stres eksternal lebih menitikberatkan pada sikap seseorang yang kerap menganggap kekuatan dari luar menentukan dirinya. Kedua pusat kontrol tersebut, menurut Noor, berkaitan dengan kemampuan pengendalian diri seseorang. “Jika orang itu dapat mengendalikan dirinya maka ia akan terfokus pada penyelesaian masalah,” jelas Noor. “Akan tetapi, apabila seseorang tidak mampu mengontrol diri, ia akan terfokus pada emosi. Akibatnya ia akan mudah stres,” tambahnya.
Pengenalan dan upaya menghindari pemicu migrain dapat menjadi solusi penyembuhan yang efektif. Adapun pemicu tersebut dapat berupa siklus harian, lingkungan, makanan, hingga mental. Langkah di atas juga dilakukan untuk menghindari pemberian obat yang sembarangan. “Pemberian obat yang sembarangan pada penderita migrain justru berpotensi menimbulkan medication overuse,” beber Rizaldy. Medication overuse adalah kondisi saat tubuh pasien menjadi kebal terhadap efek obat karena suplai yang berlebih.
Menurut Dudi Rahmat Hamid , ketua panitia, acara seperti ini merupakan program rutin GMC Health Center. Mengenai tema yang diangkat, ia berujar bahwa mahasiswa sekarang umumnya memiliki banyak masalah kesehatan tetapi jarang yang datang ke GMC Health Center. Masalah kesehatan yang kerap diabaikan itu antara lain migrain. Maka ia berinisiatif mengangkat tema tersebut. Namun demikian, Dudi turut menyayangkan minimnya animo pada talkshow kali ini. “Padahal acara ini ditargetkan bisa menjaring 300 peserta soalnya sebelum-sebelumnya pesertanya bisa 200 lebih. Ternyata sekarang 100 saja tidak sampai,” keluhnya. [M. Ageng Yudhapratama R, Nindias Nur Khalika]