Tepuk tangan meriah bergema di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri. Beberapa sastrawan yang disebut namanya pun naik ke atas pentas. Senyum sumringahmenghiasi wajah mereka. Kamis (8/11) malam itu, empat sastrawan Yogya mendapatkan penghargaan dalam Penganugerahan Hadiah Sastra Yasayo.
Malam penghargaan itu merupakan acara tahunan yang diadakan oleh Yayasan Sastra Yogya (Yasayo). Yayasan ini merupakan lembaga yang memfokuskan diri pada perkembangan kesusastraan di Yogyakarta, baik sastra Indonesia maupun Jawa. “Untuk mengembangkan sastra di Yogyakarta perlu diberikan pendorong berupa penghargaan,” jelas Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo selaku Ketua Yasayo. Ia menambahkan, penghargaan berupa Hadiah Sastra Yasayo tersebut secara bergiliran akan diberikan kepada sastrawan yang berdomisili di D.I. Yogyakarta.
Meski demikian, tidak semua sastrawan berhak mendapatkan Hadiah Sastra Yasayo. Penghargaan ini hanya diberikan kepada sastrawan yang telah menerbitkan buku-buku sastra sepuluh tahun ke belakang dari tahun penganugerahan. “Dari buku-buku sastra yang terbit di Yogya, kami menyeleksi beberapa di antaranya untuk mendapatkan hadiah sastra,” papar penanggung jawab acara penganugerahan ini, Aprinus Salam. Sastrawan yang mendapat Hadiah Sastra Yasayo diberi piagam penghargaan dan hadiah uang tunai sebesar tiga juta rupiah.
Para sastrawan yang memperoleh penghargaan terdiri atas para ahli sastra Indonesia dan Jawa. Melalui karya-karya yang diterbitkan, mereka telah memberikan kontribusi dalam perkembangan sastra Indonesia dan sastra Jawa. “Hasil-hasil penelitian dan karya dari empat sastrawan itu merupakan sumbangan yang penting bagi ilmu sastra,” ujar Aprinus.
Salah seorang peraih penghargaan, Prof. Dr. Faruk H.T., merupakan akademisi yang selalu mengikuti perkembangan sastra. Melalui bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Sastra, ia tidak hanya mengenalkan sosiologi sastra tetapi juga menguraikan penggunaan teori ini. “Faruk berjasa dalam mempopulerkan sosiologi sastra dalam penelitian sastra Indonesia,” jelas Aprinus. Sementara itu, Slamet Riyadi sebagai peneliti sastra Jawa telah menyumbangkan karya penelitian berjudul Tradisi Kehidupan Sastra di Kesultanan Yogyakarta. Aprinus memaparkan, karya tersebut merupakan usaha pendokumentasian sastra Jawa dan sumbangan penting ilmu filologi.
Selain kedua sastrawan tersebut, penghargaan sastra juga diberikan pada Handoyo Wibowo berkat sejumlah geguritan (sajak berbahasa Jawa) yang ia hasilkan. “Sajak yang ia tulis memiliki ciri khas yang menggunakan kerata basa dalam judulnya,” ungkap Aprinus. Kerata basa merupakan gaya penulisan yang mencari asal-usul kata sehingga terbentuk akronim yang memiliki makna sesuai kepanjangannya. Contoh kereta basa adalah ati (asri tur astiti), tresna(trenyese ana), dan pelet (pekaning lengket).
Penghargaan terakhir diraih oleh sastrawan Esti Nuryani Kasam melalui cerpen-cerpennya. Salah satu antologi cerpennya yang berjudul Perempuan Berlipstik Kapur menyinggung permasalahan perempuan dan kemiskinan. “Ia dapat membuka ketragisan hidup yang absurd sebagai masalah,” ungkap Aprinus lagi.
Selain penganugerahan sastra, ajang ini juga menghadirkan pembacaan Pidato Kebudayaan oleh Prof. Dr. Faruk H.T. Dalam pidatonya, Faruk tidak mengingkari bahwa sastra merupakan produk dari kebudayaan. Namun, ia menambahkan bahwa sastra dapat pula menjadi produsen suatu kebudayaan yang membuka kemungkinan terciptanya kultur lain. “Dalam hal inilah sastra melaksanakan fungsi produktifnya atas kebudayaan,” tegasnya.
Pidato kebudayaan tersebut menjadi penutup acara Penganugerahan Hadiah Sastra Yasayo. Salah seorang mahasiswa yang hadir, Francisca, mengaku terkesan dengan ajang penghargaan itu. “Tamu yang hadir jadi tidak bosan karena acaranya dikonsep dengan baik,” ungkapnya.
Berbeda dari acara di tahun sebelumnya, malam penghargaan tahun ini diisi pula dengan seminar sastra. Selain itu, pertunjukan musik calung, musikalisasi pusi, dan pembacaan puisi serta cerpen juga tampil guna menghangatkan suasana. “Acaranya cukup meriah. Kita dapat ilmu dan hiburan juga,” kesan Francisca. Melalui penghargaan ini, ia berangan agar anak muda terpicu untuk menciptakan karya sastra. “Semoga sastrawan-sastrawan muda nantinya semakin produktif,” tuturnya. [Yuliana Ratnasari]