Judul : The Other
Penulis : Ryszard Kapuscinski
Penerjemah : Endes Runi Anisah
Penerbit : Pustaka Pelajar
Tahun terbit : 2012
Jumlah halaman : 102
Manusia memiliki banyak kesamaan. Namun, masih ada orang yang menganggap orang lain baginya berbeda dan merasa harus dihindari, bahkan dibasmi.
Banyak peristiwa di dunia dari dulu sampai sekarang yang menunjukkan adanya sikap ‘menganggap asing’ kelompok manusia lain. Mereka juga dianggap sebagai suatu ancaman dan manusia-manusia yang tidak beradab. Anggapan-anggapan itulah yang mengakibatkan perselisihan antarkelompok dan yang berujung pada permusuhan, bahkan pertumpahan darah. Beberapa peristiwa yang menunjukkan tindakan tidak manusiawi semacam itu misalnya peperangan antara penganut paham fasisme dan komunisme; dan penaklukan oleh orang-orang Eropa dan Arab terhadap daerah-daerah yang asing bagi mereka. Jika dicari akar permasalahan pada peristiwa-persitiwa tersebut, bisa dipastikan bahwa penyebabnya adalah ketidakpahaman (atau bahkan ketidakingintahuan) pihak yang menganggap dirinya kuat terhadap kelompok yang asing bagi mereka. Padahal, peristiwa-peristiwa itu tidak perlu terjadi jika antarmanusia saling menyadari bahwa mereka sama-sama menyukai kedamaian, membenci kedinginan, kelaparan, dan rasa sakit.
Adalah Ryszard Kapuscinski, seorang wartawan dari Polandia yang telah bertahun-tahun melakukan perjumpaan dan dialog dengan siapa yang disebut sebagai the Other atau Orang lain – konsep yang pernah digagas oleh Emmanuel Levinas. Kapuscinski memaknai the Othersebagai orang-orang di luar kelompok dan rasnya, yaitu orang-orang non-Eropa atau bukan kulit putih. Dalam perjalanannya, ia pun menjumpai Orang lain di benua Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Sebagai refleksi perjalanannya, ia menulis buku dengan judul “The Other”.
Refleksi dalam buku ini bukan berarti bahwa Kapuscinski hanya memaknai peristiwa di lingkungan Orang lain berdasarkan pengalamannya. Malah, refleksi itu lebih banyak memaknai ide pemikir-pemikir Eropa mengenai bagaimana orang-orang Eropa memandang Orang lain dan bagaimana multikulturalisme berkembang. Kapuscinski memiliki hasrat kuat untuk menjumpai Orang lain karena terinspirasi oleh pemikiran Emmanuel Levinas, Jozef Tischner, dan pemikiran antropolog yang juga berasal dari negaranya, Bronislaw Malinowski. Ide-ide merekalah yang ia munculkan dalam buku. Salah satu pemikiran yang menginspirasinya adalah filsafat Levinas yang di antaranya menjelaskan bahwa perjumpaan dengan Orang lain merupakan peristiwa terhebat dalam hidup.
Terbitnya buku ini menambah jumlah literatur kritik terhadap penindasan, perbudakan,dan pembantaian yang dilakukan bangsa Eropa terhadap Orang lain. Menariknya, kritik tersebut disampaikan oleh orang Eropa sendiri. Ini juga berisi cerita faktual di samping cerita-cerita favorit orang-orang Polandia saat Perang Dunia. Cerita-cerita itu hanya berisi bagaimana daerah di luar Eropa itu eksotis, pemandangan alamnya indah, dan terdapat binatang yang aneh-aneh. Latar belakang itulah yang dijelaskan Kapuscinski pada bab pertama. Latar yang menunjukkan bahwa orang-orang Polandia dibutakan dari fakta kejahatan oleh bangsanya sendiri yang berada di bagian dunia lain.
Kapuscinski menuliskan ide-idenya dengan menuliskan perkembangan ilmu pengetahuan dan tidak meninggalkan kaidah keilmuan itu, terutama filsafat dan antropologi. Hal itu menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar wartawan atau reporter, tetapi juga wartawan yang menyukai kajian-kajian keilmuan. Pada bab pertama, subbab kedua, “Makna Perbedaan”, Kapuscinski menjelaskan kronologi bagaimana hubungan antara orang Eropa dengan Orang lain sebagaimana yang dilakukan sejarawan dan antropolog. Secara urut, pembagian itu terdiri dari era perdagangan dan utusan raja; era penemuan benua dan penaklukan; terakhir, era pencerahan dan humanisme. Di sini, Kapuscinski lebih memfokuskan pada era pencerahan. Era itupun dibagi lagi dalam tiga titik balik berurutan: titik balik para antropolog, titik balik Levinas, dan titik balik multikulturalisme.
Kapuscinski menjelaskan bahwa ilmu antropologi lahir karena visi-visi Eurosentrisme (pandangan bahwa bangsa Eropa adalah bangsa yang paling beradab – pen) semakin dikikis oleh visi yang lebih universal yang mencakup seluruh dunia. Namun pada awal kelahirannya, antropolog terbagi menjadi mazhab difusionis dan evolusionis. Mazhab evolusionis (atau kaum globalis) meyakini adanya kesatuan umat manusia sebagai satu keluarga, sedangkan mazhab difusionis berpandangan bahwa peradaban di dunia telah ada dan akan ada terus.
Setelah itu, Kapuscinski mulai menjelaskan banyak tentang inspiratornya, Emmanuel Levinas, seorang filsuf dari Perancis yang tumbuh besar di zona perang Perang Dunia I dan II. Di sini dijelaskan bahwa Levinas memberi gagasan bahwa perjumpaan dengan Orang lain merupakan peristiwa terhebat dalam hidup. Melalui wajah itu, mereka memperlihatkan diri kita sebenarnya. Lebih dari itu, mereka membawa kita lebih dekat dengan Tuhan. Di bagian yang lain, Kapuscinski mengutip penjelasan tentang filsafat Levinas dari seorang ahli filsafat Levinas, Barbara Skarga. Skarga mengatakan bahwa Levinas memperlihatkan dimensi baru dari Aku (Self) yang bukan sekadar individu terpisah, tetapi juga melibatkan Orang lain. Pemikiran itulah yang membuat Kapuscinski terobsesi untuk berjumpa dengan Orang lain dan bercermin mengenai dirinya melalui perjumpaan itu.
Selanjutnya, Kapuscinski menjelaskan panjang lebar mengenai multikulturalisme. Ia pun mengurutkan urutan sejarah bagaimana multikultural bisa dimulai. Hal itu dimulai ketika orang Eropa menyadari keberadaan Orang lain, selanjutnya pengalaman-pengalaman antropologis untuk memahami kebudayaan dan kompleksitas Orang lain. Terakhir, dijelaskan filsafat Levinas yang menganggap Orang lain sebagai sosok individu yang menjadi tanggung jawab orang Eropa.
Masih banyak lagi penjelasan yang berkaitan dengan multikulturalisme. Ia menceritakan pengalamannya saat di Afghanistan ketika ia melihat wanita bercadar, namun menggunakan atasan ketat. Hal itu menunjukkan bahwa mulai ada ketidakpastian identitas. Selain itu, ia membahas faktor demokrasi sebagai penguat kesadaran multikulturalisme di bumi. Kapuscinski juga menjelaskan tentang kemungkinan buruk berkembangnya multikulturalisme yang ditunjukkan melalui eksploitasi budaya dan etnosentrisme. Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan tentang perkembangan multikulturalisme semakin jelas dan tersebar luas karena pengaruh perkembangan teknologi komunikasi.
Adanya buku ini bisa menjadi refleksi kembali bagi pembaca dari berbagai kalangan, terutama mereka yang ingin mengenali the Other bagi pembaca, baik jika dilihat dari kepribadian individual, jenis kelamin, ras, atau keyakinan. Bagaimanapun, Orang lain bagi kita adalah orang-orang yang memiliki banyak kesamaan dan bisa sewaktu-waktu kita ajak berkenalan dan kemudian saling memahami. Buku ini juga menjadi refleksi bahwa peristiwa konflik dewasa ini, seperti aksi kekerasan di Sampang, marjinalisasi Muslim Rohingya, dan perang saudara di Suriah tidak perlu terjadi jika di antara mereka saling memahami perbedaan masing-masing. [Beniardi Nurdiansyah]