Oleh
Mohammad Zaki Arrobi
Ketua Keluarga Mahasiswa Sosiologi Fisipol UGM 2012
Wajah dunia pendidikan tinggi kita kembali mendapat tamparan keras. Peristiwa terungkapnya praktik perjokian dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi kembali terjadi. Tidak tanggung-tanggung, kali ini perjokian terjadi di ‘rumah kita’ sendiri, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Peristiwa memalukan ini terjadi di saat ujian seleksi masuk kelas internasional Fakultas Kedokteran UGM. Polres Sleman yang menerima laporan dari panitia pelaksana berhasil meringkus para peserta gadungan di tempat kejadian perkara. Lebih fantastisnya lagi praktik perjokian kali ini tidak hanya dilakukan oleh segelintir oknum saja, namun diduga melibatkan 52 peserta ujian. Sejauh ini, UGM merespon ‘tragedi akademik’ ini dengan membuat Tim Pencari Fakta (TPF) Independen untuk membongkar pihak-pihak yang terlibat dalam praktik-praktik manipulatif ini.
Tragedi yang terjadi dalam dunia pendidikan tinggi di atas mengguratkan ironi dalam sanubari kita. Praktik perjokian yang terjadi dalam seleksi masuk perguruan tinggi sungguh telah menciderai idealisme perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang harusnya menjadi tempat menyemai benih-benih sikap kecendikiawanan seperti kejujuran intelektual, integritas, keadilan dan kebenaran, justru sekarang menjadi tak lebih dari komoditas bernilai tinggi yang diperebutkan meskipun dengan cara cara yang tidak beradab.
Fenomena ini sesungguhnya membuka mata kita akan realitas bahwa pendidikan tinggi kita telah mengalami apa yang disebut sosiolog Amerika, George Ritzer, sebagai Mc Donaldisasi. Menurut Ritzer, Mc Donaldisasi mengisyaratkan bekerjanya prinsip-prinsip kapitalisme dalam sebuah institusi sosial. Dalam konteks ini proses Mc Donaldisasi telah berjalan pada institusi pendidikan kita.
Mc Donaldisasi terdiri atas empat prinsip yang bekerja. Pertama, prinsip efisiensi. Efisiensi dalam institusi pendidikan ditandai dengan mendorong program program studi yang ‘laku’ di pasaran untuk menghasilkan banyak pundi-pundi rupiah. Sementara di sisi lain ‘membunuh’ program program studi yang dinilai kurang marketable di bursa pasar kerja. Prinsip yang kedua adalah keterprediksian. Prinsip ini berjalan dengan menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Pendidikan diarahkan untuk memenuhi kepentingan industri yang kapitalistik. Prinsip ketiga adalah kuantifikasi. Proses kuantifikasi ditandai dengan mengukur segala proses pembelajaran akademik dengan angka-angka statistik. Kenyataan sosial yang begitu kompleks direduksi menjadi sekedar angka angka bisu. Keempat, Mc Donaldisasi pendidikan ditandai dengan berjalannya prinsip teknologisasi, sebuah proses pembelajaran yang dikontrol melalui teknologi high tech berbiaya tinggi.
Dari semua kriteria, dunia pendidikan tinggi kita nampaknya sudah ‘sempurna’ mengalami proses Mc Donaldisasi. Pertama, prinsip efisiensi jelas sudah diterapkan dihampir semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Program-program studi yang dianggap ‘laku’ di pasaran akan difasilitasi sedemikian rupa sehingga mutunya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini nampak dari program studi seperti ekonomi, kedokteran, dan teknik yang menjadi ‘primadona’ perguruan tinggi dalam menggaet calon mahasiswa.
Kedua, prinsip keterprediksian. Institusi pendidikan kita dalam banyak hal telah melakukan perubahan kurikulum demi tuntutan bursa pasar kerja. Kita mengenal apa yang disebut dengan paradigma ‘link and match’ dalam pendidikan tinggi. Pandangan ini menyatakan bahwa dunia pendidikan haruslah terintegrasi dengan dunia pasar kerja. Dengan logika demikian, pendidikan telah disubordinasi menjadi sekedar ‘produsen’ tenaga kerja siap pakai guna memenuhi kepentingan industri kapitalistik.
Ketiga, Nuansa Mc Donaldisasi pendidikan tinggi kita juga begitu terasa dari proses kuantifikasi yang semakin massif dilakukan di institusi pendidikan. Proses pembelajaran akademik yang dialektik kini dipinggirkan, diganti dengan proses kuantifikasi dalam bentuk angka angka statistik. Indeks prestasi akademik menjadi ‘paramater utama’ dalam mengukur kemampuan akademik mahasiswa, sedangkan kecerdasan sosial dan kematangan emosional tidak dianggap penting lagi. Terakhir, dunia pendidikan tinggi kita juga dijebak oleh teknologisasi, proses pembelajaran akademik menggunakan teknologi sebagai alat kontrol manusia. Hal ini nampak dalam kebijakan prasyarat absensi minimal 75% yang dikontrol melalui mesin pemindai jari (finger machine). Teknologi yang awalnya tunduk pada manusia justru berbalik menguasai manusia.
Proses Mc Donaldisasi pendidikan tinggi pada hakikatnya akan menggiring pada komodifikasi pendidikan. Komodifikasi pada pendidikan mengubah nilai pendidikan yang sebenarnya adalah nilai guna menjadi nilai tukar. Dalam nilai tukar pendidikan berfungsi sebagai suatu proses untuk mendidik manusia menjadi suatu komoditas yang diperjual-belikan sehingga dapat menciptakan nilai lebih bagi pemilik mode of production (dalam hal ini lembaga pendidikan), sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang besar dari terselenggaranya pendidikan. Singkatnya dalam proses komodifikasi, pendidikan semata mata dijadikan barang dagangan yang dapat diperjualbelikan dengan mudah, sehingga menjadi garis demarkasi yang memisahkan antara golongan ‘the have’ dengan golongan ‘the have not’, pendidikan menjadi penanda kelas sosial seseorang.
Dalam konteks ini, praktik perjokian dalam dunia akademik sesungguhnya menggambarkan realitas komodifikasi pendidikan, dimana pendidikan diperebutkan sedemikian rupa oleh para ‘pembeli-pembeli’ berduit. Bangku-bangku kuliah di Fakultas Kedokteran UGM telah menjadi ‘komoditas’ dengan harga selangit untuk dinikmati prestise dan prospek kerjanya.
Puluhan peserta ujian masuk yang menggunakan jasa perjokian ini sesungguhnya sedang bertransaksi untuk ‘membeli’ kursi-kursi pendidikan yang mereka impikan. Mereka rela merogoh kocek dalam-dalam bahkan ‘nekat’ menerabas nilai nilai keadilan, kejujuran dan kebenaran demi impian-impian semu mereka. Komodifikasi ini lebih jauh mengakibatkan ‘stok pengetahuan’ (stock of knowledge) dapat dengan mudah ditukar dengan materi. Lihatlah aksi sang joki yang rela melacurkan intelektualitasnya demi merengkuh iming-iming materi. Intelektualitas sebagai hasil proses pembelajaran yang mustinya diabdikan bagi kepentingan rakyat dan kemanusiaan, justru dalam arus Mc Donaldisasi pendidikan dengan mudah ‘digadaikan’ demi secuil materi.
UGM sebagai institusi pendidikan tinggi yang ada di Indonesia, menurut penulis juga tidak dapat tidak telah mengalami proses Mc Donaldisasi seperti digambarkan di atas. Tragedi akademik yang terjadi di Fakultas Kedokteran sekedar membuka mata kita tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di kampus kita. Kampus, yang konon disebut kampus kerakyatan.