Ratusan petani pesisir Kulon Progo kembali menuntut pambatalan proyek tambang pasir besi di daerahnya. Senin (9/7) siang, mereka yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) berdemonstrasi di halaman gedung DPRD DIY. Aksi tersebut diawali denganlongmarch dari Jalan Abubakar Ali menyusuri Malioboro. Teriakan “Tolak feodalisme dan kapitalisme!” “Tanah untuk rakyat!!” “Bertani atau mati!” mengiringi langkah mereka.
Begitu sampai di gedung DPRD, massa langsung melakukan orasi dan menyampaikan tuntutannya. “Di sini kita menyuarakan aspirasi yang selama ini selalu dikhianati para penguasa,” ujar Iis, anggota PPLP, dalam orasinya.
Massa mempersoalkan klaim Pakualaman atas tanah warga yang diperuntukkan kepada PT. Jogja Magasa Internasional (JMI), perusahaan penyelenggara proyek tambang pasir besi. Berdasarkan peta penambangan PT. JMI, luas tanah untuk proyek tambang sekitar 3000 hektare. Padahal menurut warga, berdasarkan peta desa dan buku besar dari masing-masing desa di pesisisr pantai Kulon Progo, luas tanah milik Pakualaman hanya sekitar 200 hektare. “Kami akan tetap mempertahankan tanah kami dan terus menolak tambang pasir besi yang akan merusak tanah dan merampas hajat hidup kami,” ujar Widodo, anggota PPLP. Selain itu, massa menuntut sertifikasi atas sebagian tanah yang sudah puluhan tahun digarap oleh petani, namun belum bersertifikat. “Kami akan terus menuntut hak atas tanah kami,” lanjutnya.
Massa juga menyuarakan pembatalan Perda No. 2 Tahun 2010 tentang rencana tata ruang dan tata wilayah Provinsi DIY. Perda tersebut menegaskan penetapan kawasan pesisir sebagai kawasan untuk pertambangan pasir besi. Penetapan yang tercantum dalam pasal 60 ayat 2 tersebut, menurut mereka, bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Selain menyampaikan tututan, para petani tersebut juga menumpahkan kekecewaan mereka secara simbolik. Salah seorang warga memasuki halaman gedung DPRD dengan kepala tertutup kain hitam. Aksi tersebut merupakan simbol ketidakpedulian pemerintah. “Kita kira sultan mendengar, ternyata kita selalu ditedang kesana-kemari,” tutur Iis dalam orasiya.
Salah seorang anggota DPRD sempat menemui massa di tengah-tengah demonstrasi. Ia menyampaikan apresiasi terhadap aksi yang tertib. Namun tindakan tersebut tidak memuaskan petani. “Kita tidak percaya sama anggota dewan kalau mereka tidak bisa mencabut peraturan yang melindungi tambang,” tegas Widodo.
Aksi para petani tersebut diakhiri dengan doa bersama. Dalam doa berbahasa jawa tersebut, mereka memohon kepada sang pencipta agar tuntutan mereka didengarkan para penguasa. “mugo-mugo pemerintah isih wedhi karo gusti Allah,” tutur salah seorang petani mengakhiri doanya.[Ibnu Hajjar]