Pelataran Gedung Agung dipadati ratusan orang pada Minggu (24/6) sore. Mereka mengikuti aksi budaya yang diselenggarakan oleh Forum Yogyakarta untuk Keberagaman (YuK!). Aksi tersebut dibuat sebagai bentuk keprihatinan terhadap ancaman dan pelanggaran kebinekaan di Yogyakarta. Masyarakat yang tergabung dalam organisasi non-pemerintah beserta sejumlah elemen masyarakat sipil ikut bergabung dalam aksi budaya ini.
Naomi Srikandi, panitia aksi, mengatakan bahwa  aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama dan kepentingan
tertentu semakin marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahid Institute, tindakan intoleransi dalam beragama dan berkeyakinan di tahun 2011 naik 16% yakni sebanyak 184 kasus. Di Yogyakarta, kasus serupa juga berlangsung. Salah satunya, penyerangan diskusi Irsyad Manji. âLewat aksi ini, kami ingin memberitahu pada masyarakat Jogja supaya semua sadar akan asas kebinekaan,â ujar Naomi.
Kasus-kasus kekerasan tersebut, menurut Naomi, tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Toleransi itu bukan tumbuh dari rasa kalah atau takut, melainkan karena kita percaya diri dan bangga atas kebinekaan yang dimiliki. Sikap toleransi semacam ini telah tumbuh di Yogyakarta sejak lama. Sampai sekarang, kebinekaan rakyat Yogyakarta dapat terjaga. âOleh karena itu, sikap toleransi harus dijaga dan tidak boleh ada yang merusak itu,â tegasnya. Di samping itu, Yogyakarta sebagai kota pendidikan harus bisa menjamin hak masyarakat untuk mengemukakan pendapat. âKalau memang kebebasan berpendapat sudah dilarang, perguruan tinggi paling tidak menjadi benteng pertahanan terakhir,â tutur Naomi.
Aksi budaya bertajuk âDari Yogyakarta untuk Indonesia Binekaâ itu diisi dengan pembacaan manifesto âYogyakarta untuk Kebinekaanâ oleh Habibah, wakil dari warga Yogyakarta. Segenap peserta aksi mengikuti pembacaan manifesto tersebut, termasuk pejabat yang hadir, di antaranya Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur DIY; Dr.
Pratikno, Rektor UGM; dan Haryadi Sayuti, Wali Kota Yogyakarta. Setelah itu, teks manifesto diserahkan secara simbolik kepada Sri Sultan sebagai pemangku jabatan tertinggi di Yogyakarta dan Pratikno sebagai wakil seluruh rektor Perguruan Tinggi. âPara pemimpin itu telah diberi kepercayaan oleh masyarakat. Oleh karenanya, mereka harus menjalankan amanat tersebut,â jelas Naomi.
Kentongan pun dengan sangat gaduh dibunyikan seusai rangkaian acara berakhir. Bunyi kentongan semacam ini merupakan simbol peringatan akan bahaya yang mengancam, dalam hal ini gerakan yang tidak sesuai dengan prinsip kebinekaan. âKita membunyikan titir (bunyi kentongan yang gaduh, red) karena perlindungan itu tidak ada. Selanjutnya, kami akan mengadakan diskusi terkait dengan isu ini,â ujar Naomi.
Aksi ini mendapat respon dari beberapa elemen masyarakat. Salah satunya, Mario, Ketua Sanggar Ulu Itah, mengaku turut mengisi acara itu karena ingin menunjukkan budaya Dayak pada masyarakat Jogja. âSelama ini budaya Dayak belum terlalu terlihat. Melalui acara ini, kami ingin menampilkan agar masyarakat Jogja tahu. Selain itu, kami juga ingin menunjukkan kesatuan dan keberagaman kita lewat acara ini,â ujar Mario. Zita, mahasiswa Jurusan Perkembangan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) 2009, pun menyatakan hal serupa. âIndonesia kan negara berbineka, maka nilai itulah yang harus diperjuangkan,â ungkapnya.[Ahmad Syarifudin, Nindias Nur Kalika]