Beberapa skema yang telah diterapkan untuk mengurangi kadar emisi GRK belum memberi hasil maskimal. Masyarakat dunia memerlukan skema baru yang lebih ideal.
Dahulu mayoritas masyarakat dunia lebih banyak membicarakan berbagai upaya peningkatan jumlah industri dan pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara berkembang. Namun, hampir lebih dari dua dasawarsa ini dunia memperdebatkan peristiwa perubahan iklim. Perdebatan tersebut dimulai sejak adanya penemuan greenhouse effect pada 1896 oleh Svante Arrhenius. Hasil penelitian Arrhenius menjelaskan adanya hubungan erat antara perubahan iklim dengan bertambahnya jumlah gas di udara, di antaranya karbondioksida, metana, dan kloroflurokarbon. Hasil tersebut mengubah pandangan mereka terhadap peristiwa perubahan iklim. Kini isu perubahan iklim menjadi persoalan penting yang diperdebatkan secara berkelanjutan. Di Indonesia, greenhaouse effect dikenal dengan Gas Rumah Kaca (GRK).
Beberapa tahun terakhir, kadar GRK di udara bertambah akibat penggunaan bahan bakar fosil berlebihan, pembakaran sampah, perubahan tata guna lahan, dan kerusakan hutan. Keempat aktivitas tersebut kerap terjadi di Indonesia. Akibatnya, luas wilayah hutan Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Padahal, Indonesia termasuk salah satu negara dengan hutan tropis terluas di dunia.
Grafik 1: Luas Kerusakan Hutan di Kalimantan Tahun 1950-2010.
Kerusakan hutan di Kalimantan hanya sebagian kecil penyebab meningkatnya kadar GRK di bumi. Bertambahnya kadar GRK akibat kerusakan hutan menjadi salah satu alasan diadakannya Protokol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan pertemuan tingkat dunia antar negara guna membahas isu global tentang perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan kadar GRK.
Penggagas Protokol Kyoto adalah United Nations Framework Convention on Climate Change(UNFCCC). Sebagai penggagas Protokol Kyoto, pihak UNFCCC diharapkan mampu menjalankan komitmen yang mereka sepakati. Protokol Kyoto disepakati pada 11 Desember 1997 di kota Kyoto, Jepang. Hasil kesepakatan tersebut adalah kesediaan negara maju dan negara berkembang untuk bekerja sama mengurangi emisi GRK.
Selanjutnya, Protokol Kyoto terbuka untuk ditandatangani pada 16 Maret 1998. Persetujuan tersebut telah diratifikasi oleh 55 negaradan berlaku 90 hari setelahnya. Negara yang meratifikasi Protokol Kyoto di antaranya Qatar, Indonesia, Jepang, dan Rusia, sedangkan negara yang tidak meratifikasi adalah Amerika Serikat, Kazakhstan, Liechtenstein, dan Monaco.
Grafiik 2: Emisi GRK Qatar (per kapita) Tahun 1996-2008.
Grafik 3: Emisi GRK Amerika Serikat (per kapita) Tahun 1996-2008.
Grafik di atas menunjukkan jumlah emisi GRK Qatar lebih tinggi daripada Amerika Serikat.
Jumlah emisi GRK Qatar dan Amerika Serikat mencapai puncaknya pada 1997. Sebagai negara peratifikasi Protokol Kyoto, Qatar termasuk salah satu penyumbang kadar emisi GRK terbesar di dunia. Qatar meratifikasi Protokol Kyoto pada Agustus 2002, tetapi pada tahun berikutnya jumlah emisi GRK di negara tersebut terus meningkat. Hal tersebut jelas berlawanan dengan tujuan kesepakatan Protokol Kyoto yang menginginkan negara-negara peratifikasi dapat mengurangi kadar emisi GRK. Kadar emisi GRK Qatar mulai menurun pada 2006 dan terus menurun hingga 2008. Meski demikian, kadar emisi GRK Qatar tetap melebihi kadar emisi GRK Amerika Serikat yang notabene tidak meratifikasi Protokol Kyoto.
Di samping kenyataan di atas, dalam perkembangan pelaksanaan Protokol Kyoto muncul perdebatan di kalangan negara peratifikasi. Mereka beranggapan Protokol Kyoto dapat menghambat relevansi otonomi negara maju dalam pertumbuhan ekonomi. Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling menentang Protokol Kyoto. Amerika Serikat menganggap rancangan Protokol Kyoto tidak efisien dan membahayakan perekonomian negara.
Perdebatan pelaksanaan Protokol Kyoto tersebut memunculkan wacana lain untuk mengurangi emisi GRK. Mekanisme yang ditawarkan dalam wacana tersebut dinamakan Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Gagasan REDD muncul pada Desember 2008 di Poznań, Polandia. Tujuan mekanisme REDD adalah mengurangi emisi GRK melalui konservasi hutan dengan biaya minimal. Dalam perkembangannya, para pemimpin negara kembali menyelenggarakan konvensi perubahan iklim pada 2010 di Cancun, Meksiko. Konvensi tersebut menyepakati penambahan target mekanisme REDD. Penambahan target REDD disebut dengan REDD+. Mekanisme REDD+ mengembangkan tiga strategi tambahan dalam mengurangi emisi GRK melalui konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan. Setelah Protokol Kyoto berakhir pada 2012, mekanisme REDD+ akan ditetapkan.
Sebenarnya, Protokol Kyoto dan mekanisme REDD+ memiliki kesamaan tujuan dalam upaya menekan kadar emisi GRK. Namun, Protokol Kyoto berupaya mengurangi kadar emisi GRK dengan menetapkan mekanisme Clean Development Mechanism, Joint Implementation, danCarbon Trading. Sementara REDD+ memiliki cara lain dengan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Mekanisme REDD+ menetapkan peraturan terhadap negara maju agar memberikan dana bagi negara berkembang guna melakukan konservasi hutannya. Negara maju yang bersedia memberikan dana harus memprioritaskan negara berkembang dengan wilayah hutan yang luas. Sehingga, negara berkembang yang melakukan perlindungan dan pelestarian hutan akan memeroleh keutungan berupa dana dari negara maju.
Indonesia mendukung mekanisme REDD+ dengan melaksanakan strategi untuk mengurangi degradasi hutan. Dukungan tersebut disampaikan pada 2007 dalam konvensi perubahan iklim di Bali. Hingga kini, Indonesia menjadi salah satu negara terdepan dalam persiapan REDD+. Indonesia juga mengeluarkan berbagai peraturan terkait dan mencanangkan provinsi Kalimantan Tengah sebagai proyek percontohan REDD+. Negara sukarela yang bersedia memberi dana untuk Indonesia adalah Norwegia. Negara dengan tingkat Human Development Indeks (HDI) yang cukup tinggi pada 2011 tersebut memberikan dana untuk Indonesia sebesar US$ 1 miliar. Proyek percontohan tersebut diharapkan dapat memenuhi target mekanisme REDD+.
Secara umum, segala polemik yang ada dalam pelaksanaan Protokol Kyoto, REDD, dan REDD+ belum sepenuhnya berhasil mencapai target. Tidak semua negara peratifikasi Protokol Kyoto sanggup mempertanggungjawabkan undang-undang yang mereka susun. Kemungkinan hal itu disebabkan oleh ketidakseriusan negara-negara peratifikasi dalam menerapkan rancangan Protokol Kyoto. Selain itu, hasil Protokol Kyoto tidak sesuai dengan rencana awal kesepakatan protokol tersebut. Dilain pihak, mekanisme REDD memiliki kelemahan dalam pelaksanaan penghitungan kadar emisi GRK. Hingga saat ini belum ada mekanisme yang jelas dalam menghitung kadar GRK. Sementara itu, REDD+ memiliki kelemahan di bidang operasional. Keekonomisan teknologi penghitung jumlah karbon dan ketidakjelasan distribusi insentif untuk negara perawat hutan merupakan persoalan bagi proyek percontohan mekanisme REDD+. Namun terlepas dari segala kekurangan ketiga proyek pengurangan emisi GRK, ketiganya berupaya maksimal menekan emisi GRK. [Dias Prasongko, Fadhila Rachmadani, Heru Ernanda]