Judul : Gerakan-gerakan Sosial-Politik Dalam Tinjauan Ideologis
“Ideologi Gerakan Pasca Reformasi”
Penulis : As’ad Said Ali
Penerbit : Jakarta, LP3ES
Edisi : Cetakan Pertama 2012
Tebal : xii, 156 hlm
“Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup” (Francis Bacon)
Kita adalah saksi, sebagian mungkin adalah pelaku atas perubahan besar yang terjadi pada tahun 1997-1998. Gerakan demonstrasi besar-besaran rakyat dan mahasiswa mampu merobohkan sebuah rezim yang bertahan selama 32 tahun. Tumbangnya era yang bernama “Orde Baru” berganti sebuah “era Reformasi” ditandai dengan liberalisasi politik yang luar biasa. Kebijakan ini penting, sebab prasyarat pokok sebuah negara demokrasi memang harus terdapat kebebasan politik. Di samping itu, kebebasan politik dapat menjadi penanada yang jelas dengan rezim sebelumnya yang serba otoritarian. Akibatnya, berdasarkan nama demokrasi, aneka warna gerakan sosial-politik bermunculan di berbagai daerah.
Di tengah suasana eforia kebebasan itu, kekuatan ideologi yang hampir mati mulai mendapat ruang sosial-politik kembali. Memanfaatkan liberalisasi politik yang terjadi, gerakan tersebut kemudian berusaha menemukan modus pergerakan baru. Pola pergerakannya melalui partai politik atau masih dalam bentuk lama yaitu gerakan kelompok sosial. Tujuan dari kelompok tersebut tidak lain adalah berebut kekuasaan melalui proses tarik-menarik ideologi. Sehingga, yang terjadi adalah, memicu konflik horizontal di berbagai daerah. Kondisi tersebut berdampak pada ketidak stabilan iklim sosial-politik dan keamanan di Indonesia.
Dalam catatan penulis, ada lima tipologi besar ideologi politik yang secara aktual menjadi orientasi politik berbagai kelompok pergerakan di Indonesia. Empat di antaranya bersumber dari pemikiran Barat, dan satu lagi bersumber dari pemikiran Keagamaan (Islam). Kelima tipologi ideologis itu memiliki varian yang berbeda-beda dan bahkan bertentangan satu sama lain. Namun jika di petakan secara sederhana, kelima tipologi ideologis itu yakni, kiri-radikal, kiri-moderat, kanan-konservatif,kanan-liberal dan Islamisme. Istilah kiri dan kanan sebenarnya berasal dari tradisi politik prancis. Kelompok politik kanan adalah mereka yang secara umum mendukung kebijakan pemerintah saat itu. Berbeda dengan kelompok kiri yang identik terhadap kritik dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah.
Ideologi kiri-radikal muncul akibat ketidak percayaan terhadap sistem demokrasi. Karena pada dasarnya sistem demokrasi dengan liberalisasi ekonominya hanya menguntungkan kaum kapitalis. Mereka yang berhalauan dengan ideologi ini menginginkan mobilisasi politik kelompok-kelompok tertindas, khususnya buruh dan petani. Kemunculan wacana ini di Indonesia diarahkan untuk membangun demokrasi yang partisipatoris dan kesetaraan retribusi ekonomi. Kelompok ini bergerak melalaui gerakan-gerakan sosial yang mereka bentuk. Front Perjuangan Rakyat misalnya, merupakan kekuatan kelompok sosial yang menyatukan kekuatan proletariat industri dan proletariat agraris.
Berbeda dengan ideologi kiri-moderat, pada masa Orde Baru umumnya tumbuh di kalangan gerakan mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dalam buku ini, ada dua jenis ideologi kiri-moderat yang berkembang yaitu, Sosial Demokrasi dan Gerakan Sosial Baru. Sosial demokrasi gagasan pokoknya berupa welfare state serta kombinasi antara persamaan sosial dan pasar ekonomi. Sedangkan bentuk pergerakannya, melalui lembaga-lembaga perwakilan kepentingan rakyat. Sedikit berbeda dengan Gerakan Sosial Baru, yang merupakan varian dari sosial demokrasi yang biasa disebut “jalan ketiga”. Pandangan ini menginginkan jalan demokrasi yang memungkinkan wakil rakyat tidak diuntungkan dengan adanya sistem kapitalisme. Pergerakan ini muncul untuk mencari jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme dalam sebuah sistem negara.
Selama pasca reformasi, ideologi kanan yang menjadi orientasi gerakan sosial, dapat dibedakan antara kanan-konservatif dan kanan-liberal. Konservatisme itu sendiri adalah sebuah falsafat ilmu politik yang mendukung nilai tradisional dalam struktur demokrasi. Kelompok ini mengawal jalannya arus reformasi agar nilai-nilai tradisional, seperti Pancasila tidak larut dalam arus liberalisme. Sementara itu, kanan- liberal cenderung berkembang sejalan dengan kapitalisme dan filsafat liberalisme. Dalam filsafatnya, mereka berkeyakinan dengan mengenai pentingnya kebebasan individu untuk mencapai setiap tujuan yang diharapkan.
Tipologi yang terakhir yaitu islamisme, sebagai salah satu ideologi politik terbesar diantara ideologi lainnya. Secara garis besar, penulis membagi islamisme dalam kategori islam mainstream yaitu Nahdlatul Ulama (NU),Muhammadiyah,Persatuan Islam(Persis) dan sejenisnya. Yang Kedua, islam nonmainstream yaitu gerakan baru yang mengikatkan diri dengan semangat mewujudkan doktrin secara kaffah berdasarkan sumber literal. Ideologi ini serta varian-varianya bersaing dengan ideologi lain yang berasal dari barat untuk memperebutkan pengaruh politik dalam suasana liberalisme.
Di akhir tulisannya, As’ad memberikan beberapa pesan penutup kepada pembaca. Diantaranya, perkembangan ideologi yang beragam tersebut, sebaiknya tidak menjadikan kita terperangkap dalam bentuk suatu dua sikap ekstrem. Pertama, kita menjadi paranoia terhadap perkembangan ideologi. Titik ekstrem kedua adalah terlalu masa bodoh dengan perkembangan ideologi nonmainstream. Sejarah bangsa ini sudah memberikan pelajaran sikap paronia terhadap ideologi luar,seperti masa Orde Baru yang dianggap terlalu mengadopsi ideologi impor. Sebaliknya, apabila terlalu abai, seperti awal reformasi, menjadikan kita kehilangan pegangan ketika terjadi gejolak konflik yang luas.
Buku yang di tulis As’ad, merupakan hasil investigasi selama menjabat sebagai salah satu anggota Badan Intelijen Negara (BIN). Tulisan beliau layak mendapat apresiasi karena mampu memetakan berbagai varian ideologi pasca reformasi dengan skema yang jelas. Namun, kurangnya deskripsi yang mumpuni berkaiatan dengan organisasi yang menjalankan ideologi-ideologi itu, menjadikan buku ini kurang terasa lengkap. [Ach Fikri Syahrul M.]