Dalam rangka memperingati Jumenengan Sultan Hamengku Buwono X, Keraton Yogyakarta menggelar Labuhan Ageng. Acara yang diadakan tiap delapan tahun sekali itu berlangsung di Pantai Parangkusumo pada Rabu (20/6). Peringatan Jumenengan sendiri adalah peringatan saat Sultan Hamengku Buwono X naik tahta menjadi raja.
Labuhan Ageng adalah ritual pemberian pakaian atau caos ageman pada Nyi Rara Kidul, ratu Pantai Selatan. Prosesi ritual diawali dengan serah terima bahan ritual berupa sejumlah kain oleh Keraton Yogyakarta kepada juru kunci Dusun Pamancingan, yakni abdi dalem penjaga. Juru kunci Dusun Pamancingan adalah abdi dalem yang bertugas menjaga tempat petilasan Keraton Yogyakarta di wilayah Pamancingan. Selanjutnya, kain-kain tersebut dibawa ke joglo di area Pantai Parangkusumo. Di sana, para abdi dalem meletakkan bahan ritual itu di atas tiga anyaman bambu atau yang lazim disebut ancak.
Ketiga ancak tersebut kemudian dibawa ke dalam Cepuri Parangkusumo yang dianggap sebagai pintu gerbang antara Keraton dan Pantai Selatan. Tempat itu juga dipercaya sebagai lokasi bertemunya Raja Mataram pertama, Pangeran Senopati dengan Nyi Rara Kidul. Di Cepuri Parangkusumo, para abdi dalem meminta ijin pada Nyi Rara Kidul untuk melakukan kegiatan Labuhan Ageng. Setelah itu, abdi dalem membawa ketiga ancak tersebut dan melarungnya di laut. Warga yang berada di pantai berusaha mendapatkan sajen dan kain untuk kemudian dibawa pulang.
Kain yang menjadi bahan ritual terdiri dari berbagai macam bentuk. “Bentuk kainnya ada yang berwujud jarik dan semekan atau kemben,” papar Budi Maryanto, juru kunci Dusun Pamancingan yang bergelar Mas Ngabehi Suratso Maryanto. Selain itu, jenis kain yang dilabuh juga bermacam-macam. “Kain yang digunakan memiliki jenis jingo merah, jingo ijo, cangkring, poleng, pandang binitot, dan sebagainya,” ujar Budi. Di samping kain, sajen turut dipersiapkan untuk proses Labuhan Ageng. Terdapat pisang mas, ketan salak, bunga, dan tumpeng urubing damar yang disediakan sebagai sajen.
Jumenengan Sultan Hamengku Buwono digelar berdasarkan perhitungan kalender Jawa Islam. Oleh karena itu, Labuhan Ageng juga diselenggarakan menurut penanggalan Jawa Islam. “Untuk Sultan Hamengku Buwono X, setelah saya hitung, beliau naik tahta pada tanggal 30 bulan Rejeb,” ujar Budi. Rejeb adalah bulan ketujuh dalam penanggalan Jawa Islam. Sedangkan saat Sultan Hamengku Buwono IX berkuasa, Labuhan Ageng dilaksanakan bulan keempat yaitu Bakda Mulud. “Waktu Sultan Hamengku Buwono IX masih ada, proses Labuhan Ageng diadakan tanggal 26 bulan Bakda Mulud,” ungkap Budi.
Berdasarkan sejarah, Labuhan Ageng pertama kali dilakukan oleh Raja Mataram pertama yakni Pangeran Senopati. Kala itu, Pangeran Senapati berhasil mengalahan Aryo Penangsang, Bupati Jipang Panolan. Kemenangan itu membuat Pangeran Senopati memperoleh tempat bernama Alas Mentalok yang berada di tenggara Kota Yogyakarta, tepatnya di daerah Banguntapan. Alas Mentalok adalah hutan dan dihuni oleh banyak makhluk halus. Karena merasa diganggu, Senopati pun meminta bantuan Kanjeng Roro Kidul untuk mengusir makhluk-makhluk itu. Senopati mengganggap Nyi Rara Kidul bisa membantu karena ia adalah makhluk halus penguasa Pantai Selatan. “Permintaan tersebut kemudian melahirkan beberapa perjanjian, salah satunya adalah Labuhan. Sejak saat itu, labuhan terus dilakukan oleh raja-raja Mataram selanjutnya,” tegas Budi.
Warga memadati Pantai Parangkusumo saat Labuhan Ageng berlangsung. Edi, warga asal Solo, mengaku penasaran dengan acara tersebut. “Saya baru liat Labuhan kali ini. Saya hanya ingin tahu apa saja barang-barang yang dilarung dan kenapa kok semua barang itu dibuang ke laut,” jelasnya. Sedangkan, Istia, warga dari Gamping, mengatakan ikut labuhan setiap tahunnya. “Labuhan berhubungan dengan kepercayaan orang Jawa yaitu Kejawen. Saya termasuk yang meyakini kepercayaan itu. “Saat labuhan, saya berdoa pada Ibu Ratu (Nyi Rara Kidul –red), Sultan, dan Allah agar memperoleh berkah,” papar Istia. [Nindias Nur Khalika]