Persentase masyarakat yang pro dan kontra terhadap wacana penetapan gubernur dan wakil gubernur DIY dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan hampir berimbang. Fakta tersebut didapat dari survey yang dilakukan oleh Incident Yogyakarta mengenai isu keistimewaan DIY pada 16-25 April 2012. Hal itu diungkapkan Sigit Giri Wibowo, S.IP, Peneliti Incident, ketika mengisi diskusi publik bertajuk âMakna Keistimewaan DIY bagi Masyarakatâ di Ruang Seminar Timur Fisipol UGM pada Kamis (31/5). Selain Sigit, hadir pula sebagai narasumber Muhammad Faris Alfadh, M.A, dosen Hubungan Internasional UMY, Dr. Purwadi, M.Hum, dosen di Fakultas Bahasa dan Seni UNY, dan Abdul Gaffar Karim, M.A, dosen jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
Hasil survey menunjukkan, 32,50% masyarakat menyatakan pro dengan pemilihan langsung. Sedangkan 39,30% menyatakan pro dengan penetapan. Sisanya, 28,20%, menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab. âHasil tersebut menggambarkan bahwa rakyat mengalami kebingungan, bahkan dalam derajat ekstrim apatisme yang luar biasa karena berlarutnya penyelesaian status keistimewaan iniâ tambah Sigit.
Selain masalah pro kontra pemilihan gubernur dan wakil gubernur, Incident menyoroti makna keistimewaan DIY bagi masyarakat. Sebanyak 32,40% responden melihat arti istimewa sebagai hal yang spesial. Sedangkan 27,70% menganggap keistimewaan sebagai hak istimewa daerah, dan 23,20% lainnya mengartikan istimewa sebagai sesuatu yang khas. âHasil tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap keistimewaan DIY berbeda-beda,â tutur Sigit.
Diskusi ini dilatarbelakangi oleh hasil penelitian Incident Yogyakarta diatas. Hasil penelitian tersebut sangat berbeda dengan survey-survey yang dilakukan oleh berbagai lembaga sebelumnya yang menunjukkan persentase masyarakat yang pro penetapan cenderung dominan. âSaat ini persentase masyarakat yang mendukung pemilihan langsung gubernur hampir seimbang dengan masa yang pro penetapan,â ungkap Ikhsan Kamil selaku moderator.
Menanggapi survey tersebut, Faris menitikberatkan masalah pada empat kategori utama. Pertama, survey itu ingin mengidentifikasi definisi keistimewaan menurut responden. Kedua, masa depan posisi sultan sebagai raja dan gubernur sekaligus. Ketiga, mekanisme pemilihan gubernur, dan yang keempat adalah keikutsertaan masyarakat Yogyakarta jika pada akhirnya dilakukan pemilihan langsung.
Lebih lanjut Faris melihat perubahan konfigurasi sosial masyarakat Yogyakarta cenderung menghasilkan kelompok yang mengambang dalam melihat isu ini. Dari seluruh responden, 28,20% masyarakat menyatakan tidak tahu ketika diminta untuk memilih pro penetapan atau pemilihan. âMasa mengambang inilah yang menentukan masa depan politik Yogyakarta. Ketika pada akhirnya dilakukan pemilihan, suara mereka sangat menentukan karena perbandingan antara pihak yang pro dan kontra penetapan hampir seimbang,â jelasnya.
Berbeda dengan pemateri sebelumnya, Purwadi lebih menyoroti masalah keistimewaan DIY dari perspektif sejarah. Menurutnya, keistimewaan Yogyakarta tidak sebatas pada amanat Sultan Hamengkubuwono IX tentang panggabungan Kasultanan Yogyakarta dengan Republik Indonesia pada tahun 1945 silam. Akan tetapi masalah ini harus dilihat dari sisi sejarahnya yang panjang. Istilah daerah istimewa bagi Yogyakarta sebenarnya telah ada sejak masa kolonial Belanda. Pada masa itu ada beberapa daerah yang berhak memerintah daerahnya sendiri, salah satunya Yogyakarta. Istilah yang digunakan untuk daerah tersebut adalahVorstenlanden. âYogyakarta tidak diatur oleh undang-undang seperti daerah lain, tetapi diatur dengan perjanjian antara Gubernur Jenderal dengan Sri Sultan,â jelasnya.
Purwadi menambahkan, pada masa pendudukan Jepang, Yogyakarta dan Surakarta dikukuhkan sebagai daerah istimewa dengan sebutan Kochi. Alasan Jepang menjadikannya daerah istimewa karena tidak ingin merubah kedudukan daerah-daerah di Indonesia. Selain itu, pengukuhan daerah istimewa merupakan propaganda agar Kochi bersedia bekerjasama dengan Jepang dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya. âDalam sejarah jelas ada dua daerah istimewa, tapi yang bermasalah hanya di Yogyakarta. Hal ini terjadi karena sultan dan pakualam masuk dalam bidang politik, lain halnya Surakarta yang jabatan raja dan pimpinan daerahnya berbeda,â tambahnya.
Sebagai pembicara terakhir, Gaffar memandang masalah ini dari perspektif politik dan pemerintahan. Dia mengingatkan, Indonesia adalah negara merdeka yang masih amat rapuh. âIbarat sebuah bayi, imunisasi jati diri belum selesai dilakukan,â ungkapnya. Ia menambahkan, ketika para founding father mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kesatuan, mereka kurang mempertimbangkan komposisi negara ini. âDengan negara kesatuan, lokus kekuasaannya berada dipusat. Padahal negara kita terdiri dari berbagai kesultanan dan kerajaan yang seharusnya memiliki lokus kekuasaan di daerah. Apabila dua energi ini bertentangan, tentu saja akan menghasilkan masalah,â jelasnya.
Gaffar menambahkan, Sri Sultan HB IX adalah orang yang sangat cerdas dalam melihat strategi kenegaraan. Keistimewaan dan adat kerajaan yang selama ini masih terlestarikan adalah hasil kompromi dengan keadaan. Ia tahu jika melawan Sukarno yang nasionalis radikal justru tidak akan menyelesailan masalah. Walau pada dasarnya identitasnya sebagai raja tereduksi menjadi seorang gubernur, ia rela asalkan Yogyakarta menjadi daerah yang istimewa. Kemampuan kompromi terhadap pimpinan inilah yang tidak ditemui pada Sri Sultan HB X. âSaat ini kedua pihak âSBY dan Sultanâ justru saling menekan satu sama lain. Jika ini terus terjadi, yang terlihat hanyalah dua orang politisi yang saling tarik menarik kepentingan. Bukan sebagai raja yang memiliki kemampuan untuk membuat sebuah kompromi baru,â tandas Gaffar. [Khairul Arifin, Luthfi Fatchur Rochman]