Judul : ALL YOU NEED IS LOVE!: Cak Nur di mata anak muda
Penulis : Ihsan Ali-Fauzi & Ade Armando
Penerbit : Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta
Edisi : Cetakan pertama, Oktober 2008
Tebal : vi + 206 halaman
Penarik gerbong gerakan pembaharuan pemikiran Islam itu telah tiada, namun gagasan-gagasannya tetap terpatri dalam hati anak-anak muda.
Pada tanggal 29 Agustus 2005, pencetus gagasan: “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholish Madjid (Cak Nur), tutup usia. Ibarat kata pepatah harimau mati meninggalkan belang (kulit) gajah mati meninggalkan belalai, dan akademisi mati (seharusnya) meninggalkan buku. Cak Nur boleh jadi sudah mangkat, namun pemikiran dan gagasannya tetap terpatri dalam sanubari para Cak Nurian (sebutan bagi mereka pengagum ideologi modernisasi tafsir Islam Cak Nur). Hal in tidak lepas dari peran Yayasan Wakaf Paramadina yang rutin menerbitkan buku yang berisi gagasan-gagasan beliau sehingga nyalanya tetap terjaga.
Sembari memperingati 1000 hari wafatnya Cak Nur, Yayasan Wakaf Paramadina menyelenggarakan sayembara penulisan esai. Tujuan pengadaan sayembara ini adalah untuk memetakan gagasan Cak Nur di benak para anak muda. Saya mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina mengingat anak muda pasti memiliki penafsiran yang beragam mengenai gagasan-gagasan beliau.
Tiga puluh esai terpilih hasil sayembara, pada Oktober 2008 akhirnya diterbitkan dalam sebuah buku bertajuk “All You Need Is Love: Cak Nur di mata Anak Muda”. Esai-esai dalam buku ini berisi refleksi pribadi para anak muda tentang Cak Nur. Para anak muda ini memang tidak lahir di era ketika Cak Nur mengemukakan gagasannya tentang keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat. Akan tetapi mereka mengenal pribadi serta gagasannya melalui buku-buku yang beliau tulis. Bisa dikatakan, mereka adalah pewaris ideologi pembaharuan Cak Nur.
Dalam pengantar yang ditulis oleh editor Ihsan Ali Fauzi dan Ade Armando untuk kumpulan esai ini, saya menemukan hal yang menarik. Mereka menyebutkan bahwa anak-anak muda itu sebenarnya tidak menulis mengenai Cak Nur, melainkan mengenai diri mereka sendiri. Mereka merekam apa makna Cak Nur dari pikiran, selebritas, dan buku beliau. Cak Nur memiliki arti bagi pembentukan dan perkembangan diri anak-anak muda penulis esai di buku ini. Lewat Cak Nur, mereka sebenarnya tengah membicarakan diri mereka sendiri, sambil mengenangnya, dan berusaha melampauinya.
Ihsan dan Ade secara apik membagi buku ini menjadi tiga bagian: bagian pertama bertutur tentang “mengenang Cak Nur yang menginspirasikan”. Bagian kedua menghimpun materi “belajar darinya: Teologi Perdamaian Cak Nur”, dan bagian akhir berisi ihwal “melampauinya: Nasib Pembaharuan sesudah Cak Nur”. Setelah dua hari saya menyimak gagasan-gagasan anak muda dalam tiap lembaran buku ini, satu niatan yang meledak-ledak dalam benak saya adalah ingin mencari dan membaca semua karya-karya tulisan Cak Nur. menyelami lebih dalam pemikirannya.
Pada bagian pertama, Ucu Agustin (sutradara film dokumenter), membeberkan secara renyah jargon memisahkan urusan agama dan perkara politik ala Cak Nur. “Saya menilai meski agama merupakan masalah sosial. Penghayatannya amat individual. Saya tak suka politik dan saya tak setuju bila perkara yang begitu pribadi semacam hubungan hubungan cinta antara manusia dengan penguasa alam (Tuhan) dicampur dengan yang publik, terutama bila itu adalah urusan politik.” Ujar Ucu dalam esainya.
Pada bagian kedua, Burhanuddin, seorang mahasiswa Australian Nation University menyampaikan gagasannya. Pernyataan istimewa milik Burhanuddin dalam esai berjudul “Ke Cak Nur Saya Mengaji” adalah: “Pada intinya, Cak Nur berhasil menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memiliki dimensi teologis, tapi juga politis, historis, dan antropologis. Beliau piawai mendialogkan Islam dengan persoalan-persoalan yang bersifat kontekstual, historis, dan empiris”. Juga perihal kontribusi Cak Nur dalam mengenalkan ilmu-ilmu sosial dalam menjelaskan gejala keagamaan di Indonesia.
Pada bagian ketiga, Ahmad Rifki (seorang pegiat Forum Muda Paramadina) menyampaikan gagasannya perihal Paramadina. Pembentukan lembaga ini menurut Rifki memang dimaksudkan untuk merebut dominasi ulama terhadap tafsir. Tafsir adalah milik kita semua sebagai umat Islam. Umat Islam adalah khalifah yang bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. Pembelaan Cak Nur dalam buku Dialog Keterbukaan juga menjelaskan bahwa Paramadina adalah investasi kemanusiaan, yang menaungi gerakan intelektual untuk membenahi realitas yang carut marut untuk kemajuan Indonesia dan umat Islam sekaligus kedepannya, bukan lembaga kultus.
Bundel esai ini ditutup oleh Saidiman (Program Officer Jaringan Islam Liberal) dalam esainya yang bertajuk “Saatnya Mendesakralisasi Cak Nur”. Ia menghawatirkan para Cak Nurian yang sudah mengarah pada sakralisasi Cak Nur. “Yang saya saksikan adalah para pengagum Cak Nur terus saja berebut merasa paling dekat dengannya: merasa pernah memberi inspirasi bagi tulisan-tulisannya”. Kebekuan berpikir Cak Nurian harus diwaspadai dengan mengembalikan kebebasan berfikir yang pernah diperjuangkan Cak Nur sendiri.
“Maka mari kita mulai desakralisasi Cak Nur. Di masa ketika Cak Nur Sudah menjadi Tuhan, meminjam ungkapan Cak Nur sendiri, diperlukan adanya suatu kelompok pembaharuan Islam baru yang liberal”. Tutup Saidiman.
Apabila pembaca ingin melihat sosok Cak Nur secara utuh (biografi), mungkin pembaca akan kecewa. Sebab, 30 penulis muda esai ini menarasikan hanya hal-hal yang dekat dan signifikan di dalam dunia mereka. Sama halnya ketika membaca buku-buku bunga rampai, ada beberapa ide yang dimuat dalam buku ini terlalu ringkas dan kurang mendalam.
Akan tetapi, bagaimanapun buku ini disusun dari kumpulan esai anak-anak muda, pengagum dan pemerhati Gagasan Cak Nur. Editor sayembara memberi ruang kepada generasi muda untuk berkreasi sembari menyelami, merefleksi, dan menarasikan ide serta polah Cak Nur. Anak-anak muda tersebut bebas menulis apapun, termasuk ide-ide orisinil mereka, sebagaimana mereka merefleksikan gagasan Cak Nur. Sayembara ini merupakan terobosan baru bagi pembangunan mentalitas anak muda, tidak sebatas mewacanakannya.
Usai membaca buku ini, timbul keinginan dalam benak penulis untuk “memburu’ karya-karya Nurcholis Madjid. Bagaimana tidak, gagasan Cak Nur yang secara tidak langsung tertuang dalam buku ini memberi angin segar tentang pemaknaan Islam bagi anak muda. Akhir kata, buku ini cukup bagus apabila diletakkan sebagai bahan bacaan ringan untuk memetakan Cak Nur: Polah dan gagasan beliau, serta kontroversi yang mempertentangkannya. [Azis Rahmat Pratama]