Prabowo dan Ical masih memiliki masalah kejahatan HAM berat yang belum terselesaikan.
Transformasi Indonesia dari negara otoritarian ke negara demokrasi telah dipuji oleh berbagai pihak. Selama kurun waktu satu dasawarsa lebih, demokrasi Indonesia tidak hanya mengubah kehidupan dalam negerinya, tetapi juga menginspirasi negara lain untuk ikut mempraktikan asas ini. Asas demokrasi sejatinya adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, dipilih rakyat, dan dijalankan untuk menuju kesejahteraan rakyat. Salah satu bentuk demokrasi di Indonesia adalah diadakannya Pemilihan Umum (Pemilu) setiap lima tahun sekali. Dalam Pemilu, setiap rakyat yang sudah memenuhi persyaratan dapat memilih calon pemimpin yang diinginkannya secara bebas.
Gelaran Pemilu selalu memunculkan pernak-pernik, baik sebelum, pada saat, maupun sesudah Pemilu diadakan. Menjelang Pemilu Presiden 2014, fenomena yang sama juga mulai bermunculan. Salah-satunya adalah adanya rilisan survei yang berusaha memprediksi siapa yang akan memenangkan kursi Kepala Negara Indonesia. Survei tersebut dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) dengan judul “Mencari Presiden 2014: Pengetahuan, Sikap, Tindakan Elektoral Calon Pemilih”.
Survei ini dilaksanakan pada 1 sampai 12 Februari 2012. Jumlah sampel sekitar 2.050, denganmargin of error sebesar ±2,2% pada tingkat kepercayaan 95%. Survei ini menggunakan dua jenis pertanyaan yang diberikan kepada responden, yaitu jenis pertanyaan terbuka dan pertanyaan semi-terbuka. Ada tiga tokoh yang mendominasi hasil survei ini. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Ical). Megawati mendapat persentase 15,2 persen, kemudian diikuti Prabowo (5,2 %) dan Ical (2,7%) yang menduduki peringkat ketiga dan keempat. Dalam pertanyaan semi-terbuka dan pertanyaan dengan 10 daftar nama, tiga tokoh ini tetap berada tiga besar yang mendapatkan persentase.
Pertanyaan : Siapa akan dipilih dari nama-nama berikut ini bila pemilihan presiden diadakan sekarang, dan bila ada nama yang tidak masuk dalam daftar tolong sebutkan?
Perolehan persentase dari Prabowo dan Ical tergolong menarik. Dua tokoh ini memang masih di bawah Megawati dalam perolehannya. Namun, persentase Prabowo dan Ical menunjukkan bahwa mereka mulai dikenal oleh responden. Dalam bagian survei untuk mengukur awarenessdan kualitas personal pun, Prabowo mendapat persentase lebih dari 50% pada 5 indikator : tahu, suka, pintar, tegas, ganteng dan perhatian pada rakyat. Namun dalam dua indikator lain, yakni bisa dipercaya dan taat beragama, Prabowo hanya mendapat 38% dan 48% suara. Sementara itu, Ical hanya memperoleh 4 indikator yang di atas 50%, yaitu tahu, suka, pintar, tegas dan ganteng. Namun, indikator-indikator yang dihadirkan dalam survei tidak mencerminkan bagaimana sebenarnya dua tokoh ini, khususnya dalam masalah pelanggaran HAM yang pernah melibatkan mereka.
Prabowo yang merupakan mantan petinggi ABRI selama ini dianggap sebagai dalang dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa silam. Melalui Tim Mawar, Prabowo dan petinggi ABRI lain melakukan penculikan dan penghilangan terhadap sejumlah aktivis pro-Reformasi. Prabowo sendiri mengakui memerintahkan satuan khusus bernama Tim Mawaruntuk melakukan operasi itu.
Namun, Prabowo belum diadili atas kasus tersebut hingga sekarang. Padahal anggota Tim Mawar yang lain sudah dijebloskan ke penjara. Para korban dan keluarga korban juga sama sekali belum memaafkannya dan masih terus melanjutkan upaya hukum. Sebagian berupaya menuntut keadilan dengan mengadakan aksi ‘diam hitam kamisan’, aksi demonstrasi diam di depan Istana Negara setiap hari Kamis. Selain itu, Pada tahun 1995 Prabowo diduga terkait dengan sejumlah kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Ia diduga menggerakkan pasukan ilegal yang melancarkan aksi teror ke warga sipil.
Sedangkan juga tidak lepas dari kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie (Ical) adalah pemilik dari Bakrie Group yang menginduki beberapa perusahaan, salah satunya Lapindo Brantas. Perusahaan ini telah menyebabkan bencana kemanusiaan yang akrab disebut Tragedi Lumpur Lapindo. Tragedi ini adalah tragedi meluapnya lumpur dari perut bumi yang disebabkan pengeboran minyak yang tidak sesuai prosedur oleh perusahaan Lapindo. Tragedi ini menyebabkan 60 ribu warga Sidoarjo kehilangan tempat tinggal dan penghasilan mereka. Negara, melalui Peraturan Presiden no. 14 tahun 2007 menyatakan bahwa Lapindo bertanggung jawab membeli tanah dan bangunan yang terkena luapan lumpur. Namun, sampai sekarang Lapindo masih menunda-nunda pembayaran tersebut.
Sederet kasus pelanggaran HAM di atas mencerminkan kurang tegaknya Undang-Undang No. 39 Tahun. 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Di dalam Undang-Undang tersebut tertulis, HAM sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada manusia, bersifat universal dan langgeng. Beberapa hak yang termasuk HAM adalah hak untuk hidup, menyuarakan pendapat, dan memiliki penghidupan yang layak. Sedangkan untuk melengkapi fungsinya, UU di atas didampingi dengan UU no. 26 th. 2000 yang mengatur pengadilan HAM bagi pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan yang meliputi pembunuhan, pemusnahan, pengusiran, perbudakan, perampasan kebebasan fisik dan pikiran, perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang dan kejahatan apartheid.
Rilis Setara Institute mengenai Human Rights Performance Index 2009-2010 menggambarkan bahwa Pemerintah Indonesia, sebagai ujung tombak penegakkan HAM, tidak serius dalam menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu memperoleh skor 1,14 dari skala 0-7. Indikator yang digunakan di antaranya adalah mandeknya penyelidikan kasus Trisakti dan Semanggi, penculikkan aktivis era Orde Baru, Kasus Tanjung Priok, dan pembunuhan aktivis HAM Munir.
Tegaknya HAM dalam sebuah negara sangat bergantung kepada keseriusan pemerintahnya. Ketidakseriusan pemerintah dalam penegakkan HAM bisa jadi membuat semangat rakyat untuk menghormati hak-hak dasar manusia tersebut berkurang dan semakin hilang. Rakyat akan merasa bahwa HAM bukanlah sesuatu yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Tidak heran, seseorang semakin tega untuk mencederai bahkan membunuh orang lain. [Ach Fikri S.M., Siti Rakhma A., Yoga Darmawan]