Pengetahuan manusia akan mendesak dan menguasai angkasa, cintanya akan mengaku sebagai Yang Tak Terhingga –Tuhan- (Javid Nama)
Jauh setelah masa dark ages eropa, ketika otoritas suci kristen berlaku restriktif dengan dogma absolutnya membawa dominasi kepentingan elite gereja. Lahirlah gerakan konsains menentang kekuasaan gereja. Perlawanan itu melahirkan sebuah jiwa zaman baru yang dikenal sebagai renaissance. Zaman dengan usaha perombakan atas kungkungan-kungkungan agama atas kreatifitas dan inovasi (lihat kasus Copernicus, Galileo dsb). Lahirlah lilberalisasi dalam segala bidang berbarengan dengan majunya ilmu pengetahuan.
Ketika August Comte mengumandangkan the power of science, menandai zaman positivismenya. Orientasi kehidupan manusia telah perlahan bergeser menuju materialisme. Maka teisme secara gradual tergantikan oleh antropisme. Agama dianggap sebagai sumber keterasingan manusia seperti yang diungkapkan oleh Ludwig Feurbach. Agama yang penuh intrik kepentingan telah tergantikan oleh ilmu yang dianggap obyektif dan mampu menjelaskan segalanya, hal yang juga didukung ilmuwan sekaliber Sigmund Freud. Namun, dalam kenyataannya ilmu pengetahuan sendiri tidak pernah bebas dari kepentingan kekuasaan (Edward Said: 2002).
Jauh sebelum itu, pada suatu ketika jazirah Arab menasbihkan seorang bernama Ahmad (Muhammad) sebagai nabi. Munculnya sang nabi tadi kemudian dikultuskan dan diteladani cara hidupnya oleh para pengikutnya. Maka ajarannya yang dikenal sebagai Islam pesat menjadi agama baru menantang tradisi-tradisi feodal di sekitarnya. Setelah kematian sang nabi tadi, para pengikut setianya, para sahabat dipercaya melanjutkan otoritas keagamaannya sebagai khalifah. Ironisnya di kemudian hari ajaran islam memunculkan berbagai perselisihan pendapat di kalangan pemukanya. Bahkan muncul peperangan antar saudara atas dasar perbedaan dalam kepentingan atas agamanya. Kisah ini tercatat dalam riwayat Khalifah Umar, Usman dan Ali. Keadaan makin terpuruk ketika dinasti kehalifahan berlangsung yakni Umayyah, Abbasiyyah, Mamluk, dan lainnya yang justru menyisakan laku lalim dan juga korup.
Variabel tadi hanya sebatas model nyata yang tentunya tidak berlaku umum atas semua agama. Adapun yang baru saja dijabarkan bukanlah sebuah penghinaan bahkan pelecehan, namun kiranya menjelaskan bahwa apa yang dimiliki agama dalam ajarannya amatlah sempurna. Hal ini berbanding terbalik dalam praksisnya yang justru amat sering bopeng dan sejarah sendiri membuka aib dengan tutur faktanya. Tetapi hal ini bukan berarti pula mendiskreditkan pencapaian-pencapaian umat manusia dalam kemajuan ilmu dan moralitas akibat agama tersebut. Terbukti integritas masyarakat lahir dari agama-agama tersebut yang mampu melakukan kontrol atas masyarakat.
Narasi pendek ini hanya ingin mengajukan tesis akan adanya celah kepentingan manusia dalam agama. Hal tersebut membuat distorsi yang jauh dari paradigma kebenaran yang diyakini masing-masing pemeluknya maupun konsepsi sempurna dari mana ia berasal. Menururt Clifford Geertz, Agama merupakan a system of symbols which acts to establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by formulating conceptions of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic (Geertz: 1974). Apa yang menjadi penting di sini adalah kenyataan bahwa konsensus atas agama sebagai stigma simbolis yang mengontrol dan menstimulasi manusia dalam kriteria-kriteria moral tertentu. Sehingga, apa yang dihasilkan agama adalah perintah yang lahir dari pendefinisian dan penafsiran manusia atas konsepsi suci dari sebuah kepercayaan atas konsepsi tertentu misalnya kitab suci.
Seperti ditekankan Emile Durkheim bahwa agama telah melahirkan banyak unsur yang esensial dalam masyarakat, dikarenakan roh masyarakat itu sendiri adalah agama. Kekuatan agama adalah kekuatan manusia yang melahirkan kekuatan moral (Durkheim: 1988). Sampailah pada pemahaman bahwa hakikat atas agama adalah penafsiran manusia dan masyarakatnya itu sendiri atas konsepsi agama yang didapatnya. Konsepsi yang dianggapnya suci (sacred) maupun tidak terhingga (transcendent) dan mampu mengatur dirinya dalam kehidupan profane. Lalu teraplikasikan dalam ritus, ibadah maupun praktek kehidupan.
Dalam kenyataanya, praktek agama dalam masyarakat modern ternyata semakin mencapai sebuah reduksi. Baik yang merupakan sekularisasi berbuih liberalisasi sebagaimana melanjutkan pengalaman Eropa maupun beragam reinterpretasi ajaran agama berdalih kepentingan. Penafsiran manusia sendiri amatlah subyektif. Ketika agama berada dalam tataran tafsir manusia baik kolektif maupun individu, maka seketika itu pula agama menjadi kepentingan dalam ragam tafsirannya. Parahnya doktrin agama amat sering di selewengkan dalam pemenuhan kepentingan salah satu pihak. Tafsir atas agama oleh masyarakat pun tidak lagi tentang moralitas di dalamnya, namun reduksionisme masyarakat modern akan agama telah mereifikasi agama dalam format kepetingan politisnya alias sejauh mana ia bermanfaat untuk meraup untung maupun kuasa.
Cerita dari Gelanggang Mahasiswa
Fenomena yang begitu hipokrit dalam menunjukkan campur tangan kepentingan manusia dalam praktek agama ternyata berlaku pula di halaman sendiri. Kampus kita. Tanggal tiga belas April, di ruang sidang tiga Gelanggang Mahasiswa, Universitas Gadjah Mada sekitar pukul 16:00 telah berlangsung pertemuan bersama antar penghuni gelanggang. Mulai dari para karyawan hingga perwakilan berbagai unit kegiatan mahasiswa. Acara yang dirancang menjalin silaturahmi tiba-tiba menjadi gamang. Sosialisasi rencana pembangunan musholla Al-Iman di gelanggang mahasiswa menuai berbagai pertanyaan dan sanggahan dari beberapa mahasiswa. Pasalnya pembangunan musholla yang memang dirasa dibutuhkan penghuni gelanggang sejak lama, khususnya bagi umat Islam ini akan dibangun di sebelah utara gedung ukm olahraga dan beladiri.
Dengan kata lain, musholla akan dibangun di tempat yang kini dimanfaatkan sebagai ‘parkir dalam’ oleh para mahasiswa penggiat gelanggang mahasiswa. Perlu dimengerti bahwa sebelumnya setelah pembangunan loket KIK (Kartu Identitas Kendaraan), aktivitas mahasiswa penggiat gelanggang yang secara keseluruhan tidak selalu memiliki KIK -semisal alumnus maupun responden seperti pelatih ukm, mitra dari universitas lain dsb-, sempat terganggu. Beruntunglah ‘parkir dalam’ masih memberi kemudahan dan kelonggaran di tengah gangguan KIK. Mengingat keberadaan parkir dalam mampu diakses tanpa melalui portal KIK. Namun, apabila mushola benar-benar dibangun, maka fasilitas parkir dalam yang begitu penting tadi akan pupus.
Seperti ditegaskan pihak universitas melalui manajer gelanggang, apabila pembangunan mushola disepakati para mahasiswa, maka akan dibangun di lahan ‘parkir dalam’ tersebut. Pihak manajer gelanggang juga menambahkan bahwa tidak ada lahan lain sebagai opsi tempat pembangunan musholla tanpa alasan yang jelas. Kini kita pun dihadapkan pada pilihan, Mushola atau lahan parkir? Padahal kebutuhan musholla memang sudah sejak lama menjadi keluhan dan selama ini memang para mahasiswa sering menggunakan musholla di lingkungan Koperasi Mahasiswa. Namun keinginan membangun musholla khusus untuk gelanggang mahasiswa mengapa baru dihembuskan sekarang? Tidak heran rencana pembangunan musholla tersebut terkesan demi kepentingan menghilangkan ‘parkir dalam’ bagi para pengguna gelanggang.
Anehnya lagi, ketika pihak manager gelanggang mensosialisasikan rencana pembangunan musholla tersebut, -sembari menampilkan slide perkiraan desain musholla- sempat ditawarkan opsi agar pembangunan musholla tersebut bersifat tidak permanen. Lagi-lagi tanpa alasan yang jelas. Tentunya jika memang berniat serius membuat musholla, tidak akan menawarkan sebuah opsi pembangunan musholla bersifat tidak permanen. Hal itu menjadi suatu bentuk kemauan setengah hati dari rencana pembangunan fasilitas ibadah tersebut bagi mahasiswa. Setengah hati karena apsebuah kepentingan? Menggususr parkir? Dulu rencana penutupan pintu belakang akhirnya dibatalkan akibat banyak diboikot para mahasiswa. Kini musim berganti, rupanya telah ditemukan strategi baru menghilangkan ‘parkir dalam’ tanpa menutupnya, yaitu dengan musholla al-Iman. Simbol musholla sebagai simbol ritus agama yang suci telah bias dan terkotori oleh kepentingan-kepentingan dan motif-motif terselubung para pengambil kebijakan.
Semestinya niat baik pembangunan musholla tak perlu menyulitkan aktivitas mahasiswa, masih banyak lahan kosong yang mampu digunakan sebagai lahan untuk membangun musholla seperti bagian timur hall gelanggang. Namun sebenarnya akar permasalahan tetaplah pada penerapan KIK, apabila loker KIK dan tarif berbayarnya dihilangkan tentu pembangunan musholla di manapun bukan menjadi masalah. Kini, niat pembangunan musholla pun dirasa bias kepentingan, daripada niat membangun tempat ibadah yang suci. Jangan-jangan mereka telah mengingkari agama (infidel), dan agama adalah sejauh ia menguntungkan, sejauh memuaskan hasrat, ambisi dan nafsu kuasa mereka. Mereka siapa? Mereka yang diam saja atau yang mendukung? Sesuatu yang amat memilukan.Wallahua’lambisawwab
Adhi Pandoyo Hapsara
Forum Diskusi Setjangkir Kopi