“Apa yang kita lihat tadi malam adalah dagelan. Cuma aksi poltisi busuk yang tidak berani menyatakan penolakannya pada kapitalis,” kecam salah seorang demonstran dalam orasinya.
Sabtu (31/3) siang, ratusan massa dari berbagai organisasi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat berkumpul didepan Gedung Agung, Jln. Malioboro. Sebagian lagi, massa yang berasal dari mahasiswa Institut Seni Indonesia, menggelar aksi teatrikal di titik nol km. Mereka menolak hasil paripurna DPR yang meloloskan pasal 7 ayat 6 (a). Kenaikan harga BBM per 1 April dibatalkan, tapi dalam waktu enam bulan ke depan, pemerintah bisa langsung menaikkan harga BBM jika harga minyak mentah naik rata-rata 15 persen dari APBN-P 2012, menjadi substansi hasil paripurna. “Apa yang kita lihat tadi malam adalah dagelan. Cuma aksi poltisi busuk yang tidak berani menyatakan penolakannya pada kapitalis”, kecam salah seorang demonstran dalam orasinya.
Puluhan polisi terlihat berjaga-jaga di sepanjang Jln. Malioboro dan beberapa titik menuju lokasi aksi. Menurut Kombes Pol Mustaqim, Kapolresta Yogyakarta, mereka mengerahkan 2 pleton dalmas, 60 polwan, dan beberapa personel dari polsek sekitar. Di depan pos polisi titik nol km juga telah disiapkan mobil sabhara dan 1 mobil pengangkut berisi pagar berduri.
Sementara itu, hal yang cukup menarik perhatian, puluhan polwan membentuk barisan berhadapan dengan massa aksi. Mereka sengaja disiagakan untuk berhadapan dengan massa aksi yang sebagian besar memang laki-laki. “Kuatkan hati kawan-kawan!”, teriak Yayan, salah seorang orator.
Tindakan menempatkan polwan di baris depan mendapat reaksi keras dari salah seorang orator. “Ini pelecehan terhadap perempuan, menempatkan perempuan sebagai objek, sebagai penghibur”, pekik salah seorang orator yang juga perempuan itu. Namun menurut Mustaqim, tuduhan itu tidak beradab. “Ini hanya bentuk pelayanan terhadap masyarakat. Harapannya tidak ada kesan polisi berhadapan dengan musuhnya”, jelasnya.
Replika babi sebagai simbol kebusukan pemerintah pun dibakar di depan Gedung Agung. Usai pembakaran, massa berkumpul membentuk lingkaran di titik nol km dan meletakkan keranda di sepanjang jalan. Lagu darah juang sebagai ekspresi perjuangan pun digaungkan.
Tak lama, massa tambahan datang. Mereka kemudian menutup jalan dan melarang kendaraan bermotor lewat. Motor dan mobil diminta untuk memutar arah. Sedangkan delman dan tukang becak mereka biarkan lewat. “Hidup tukang becak!” pekik mereka sambil membuka jalan.
[Fitria Nurhayati, Ibnu Hajjar]