Rangkaian proses pemilihan rektor UGM memasuki masa akhir pada Kamis (22/03). Siang itu di kantor Majelis Wali Amanat (MWA), MWA akan menentukan rektor yang nantinya memimpin UGM selama lima tahun ke depan. Proses pemilihan dimulai ketika ketiga calon rektor terpilih, yakni, Prof. Dr. Pratikno, M.Sc, Prof. Dr. Techn. Danang Parikesit, M.Sc. (Eng), dan Prof.Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL. M., diberi kesempatan untuk menjelaskan program kerjanya. Selanjutnya, MWA melontarkan beberapa pertanyaan kepada ketiga calon rektor terkait program kerja mereka. Tahapan pemilihan rektor menemui jawabannya ketika Pratikno, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), dipilih menjadi rektor UGM periode 2012-2017.
Beberapa hal terkait dengan masa depan UGM telah Pratikno sampaikan sewaktu dirinya masih menjadi calon. Pratikno berpendapat UGM harus menjadi universitas kelas dunia. “Proses yang berlangsung di UGM harus berstandar internasional. Maka dari itu, fasilitas di UGM juga harus mendukung proses itu,” tuturnya saat debat calon rektor yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) cabang Bulaksumur diUniversity Club (13/03). Menurut Pratikno, visi dan misinya tersebut dijalankan dengan maksud agar UGM tetap memiliki peran bagi negara Indonesia.
Pratikno kembali menegaskan visi dan misinya tersebut saat mengikuti debat calon rektor di Gedung Purna Budaya (21/03). Terdapat lima aspek yang disoroti oleh Pratikno, salah satunya adalah aspek pendidikan. Ia berpendapat, kurikulum kampus harus diperbaiki. Selama ini, menurut Pratikno, penyusunan kurikulum tidak dilakukan secara serius. “Kurikulum harus disesuaikan agar tidak hanya mengejar peringkat tinggi, namun lebih ditekankan pada kontribusi untuk masyarakat,” ujar Pratikno.
Terkait dengan visi dan misi Pratikno tersebut, menurut Mukhanif Yasin Yusuf, mahasiswa difabel Sastra Indonesia 2011, salah satu syarat universitas kelas dunia adalah penyediaan kesempatan pada semua golongan termasuk bagi para difabel. “Tapi kenyataannya kesempatan di UGM masih rendah. Itu tandanya UGM belum menjadi universitas yang terbuka buat penyandang difabel,” terang Khanif. Ia juga berpendapat, prasarana dan sarana khususnya bagi mahasiswa difabel harus diperhatikan oleh rektor. “Penyediaan jalur kursi roda khusus untuk mahasiswa tuna daksa adalah contoh sarana yang diperlukan. Kebanyakan tangga di UGM masih berupa undak-undakan,” ujarnya.
Selain itu, Pratikno juga mempunyai keinginan untuk mengembangkan UGM menjadi universitas kelas dunia yang berbasis riset. Oleh karena itu, penelitian dan pengabdian yang dilakukan harus berkualitas dan memiliki reputasi internasional. “Untuk itu, UGM dapat mengoptimalkan sinergi dengan menggunakan pendekatan multidisiplin lintas fakultas dan lintas pusat studi.” ujarnya. Akan tetapi, berdasarkan pengakuan Titik Firawati, peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP), selama ini lembaganya cenderung diabaikan. “Dukungan finansial maupun kerjasama masih kurang. Meski kami bisa berjalan sendiri sampai sekarang, dukungan dari UGM tetap dibutuhkan,” tuturnya. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Maulvi, koordinator relawan Pusat Studi Jepang. Maulvi mengatakan hingga kini kegiatan pusat studi khususnya di Pusat Studi Jepang dibiayai oleh dana sendiri. “Selama ini kami cari dana sendiri. Dari kampus hampir tidak ada,” tambahnya.
Terpilihnya rektor yang baru, di sisi lain, membawa harapan baru. Sudarno, Kepala Dukuh Sendowo, mengaku berpikiran positif kepada rektor baru asalkan UGM mampu memahami dan memperhatikan masyarakat sekitar. “Harapan saya adalah UGM bisa dekat dengan lingkungan masyarakat,” katanya. Menurut Sudarno, cara untuk memenuhi harapan tersebut adalah dengan mengadakan kerjasama. “Kerjasama bisa dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Sendowo. Pendidikan dan kesehatan adalah dua masalah yang ada di Sendowo,” jelas Sudarno. Ia juga menambahkan pentingnya komunikasi antara rektor dan warga di sekitar kampus. “Komunikasi perlu agar bisa saling bertukar informasi tentang keadaan masyarakat dan UGM,” jelasnya.
(Nindias Nur Khalika, Ahmad Syarifudin)