Rabu (13/03) pagi, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Aliansi Peduli UGM (GARPU) melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Majelis Wali Amanat (MWA) UGM. Demonstrasi yang dilakukan sejak pukul tujuh pagi ini menuntut mundurnya Prof. Dr. Sofian Effendi sebagai ketua MWA dalam Pemilihan Rektor (Pilrek) UGM. “Kami menuntut mundur Ketua MWA Sofian Effendi yang tidak profesional menjalankan tugasnya,” tutur Pandhuri Jayadi selaku koordinator GARPU.
Para demonstran mendesak untuk bertemu dengan perwakilan MWA guna menyampaikan aspirasi mereka. “Kami sudah mencermati proses pemilihan rektor ini dan menemukan berbagai kecurangan yang terjadi di MWA,” ungkap Pandhuri. Kecurangan yang dimaksud antara lain ialah dipakainya dua Peraturan Pemerintah (PP) sekaligus dalam pilrek, pembuatan peraturan yang membatasi usia calon rektor, masa pendaftaran calon rektor yang diperpanjang, serta jadwal pemilihan rektor yang tidak konsisten. GARPU juga menduga bahwa MWA melakukan jual beli pasal. “Ini ada indikasi permainan jual beli pasal yang dilakukan MWA,” ucap Pandhuri.
Sayangnya, hingga sekitar pukul 09.45, tak ada satupun perwakilan dari MWA yang keluar untuk menemui para demonstran. Kecewa karena hal tersebut, massa pun membakar dua buah keranda dan beberapa ban. “Ini sebagai wujud protes terhadap penghianatan MWA karena menolak bertemu dengan kami,” jelas Pandhuri.
Demonstran kemudian menyerbu menuju kantor MWA dan terlibat aksi saling dorong dengan SKKK yang menghadang. Ketegangan memuncak saat keduanya saling melempar hujatan. Kericuhan baru mereda ketika anggota MWA bersedia menemui massa di ruangan Balairung UGM .
Di dalam ruangan Balairung, para demonstran akhirnya berkesempatan menyampaikan aspirasi mereka. Delapan orang anggota MWA yang hadir pada saat itu kemudian secara bergantian memberi penjelasan atas tuntutan GARPU. Mengenai pasal tentang usia, Dr. Soepomo selaku anggota MWA menjelaskan bahwa sebagai universitas negeri, rektor UGM harus merupakan PNS yang berstatus aktif. Usia pensiun PNS adalah 65 tahun, sehingga dibuatlah aturan minimal usia calon rektor 60 tahun. “Peraturan ini dibuat agar nantinya rektor tidak pensiun di tengah masa jabatannya,” terangnya.
Masalah lain yang dijawab oleh MWA adalah perihal pengunduran tenggat waktu pendaftaran calon rektor. Jadwal pendaftaran yang seharusnya ditutup tanggal 3 Februari 2012, diundur hingga tanggal 10 Februari 2012. Pengunduran tenggat waktu dapat dikatakan sah apabila calon rektor yang mendaftar masih kurang dari lima orang. Padahal, pada tanggal 3 Februari sudah ada sepuluh orang calon yang mendaftar. “Pengunduran ini dimaksud untuk memberi waktu sosialisasi dan menunggu calon rektor yang diajukan dari mahasiswa,” ujar Soepomo.
Sedangkan mengenai perihal jual beli pasal, pihak MWA sendiri menampik masalah tersebut. “Bila memang ada jual beli pasal dalam MWA, silahkan berikan buktinya dan akan kami proses,” tegas Prof. Dr. Sutaryo selaku anggota MWA. Pada akhirnya, demonstran menerima pembelaan dari MWA meski tetap bersikukuh bahwa ada penyimpangan yang terjadi. “Tetap saja kalian tidak bisa menuduh bila tidak ada bukti yang nyata,” tandasnya.