Lapangan badminton desa disulap menjadi arena pementasan teater pada malam hari itu. Senyap suasana malam hari terganti oleh suara obrolan para penonton dan celotehan anak-anak kecil yang tidak sabar ingin menonton pertunjukan teater. Sebagian dari mereka rela duduk tanpa alas guna menyaksikan aksi Bambang, pakdhe, dan lainnya.
Tak lama kemudian Bambang dan si mbok hadir ke muka penonton. Layaknya anak kecil lainnya, Bambang sangat suka bermain mainan. Ia memiliki banyak mainan seperti boneka, wayang, topeng-topengan, dan truk-trukan yang dibuat oleh pakdhe. Namun, setiap kali bermain Bambang jarang membereskan mainan-mainannya kembali. Hal ini yang membuat si mbok kesal karena harus merapikan mainan seorang diri.
Mainan yang dimiliki Bambang ternyata menarik perhatian teman-temannya. “Bambang, mainan yang kamu punya bagus,” ujar Siti, salah satu teman Bambang. Alhasil, seusai belajar kelompok, mereka bermain mainan Bambang. Akan tetapi, keceriaan dan kegembiraan di antara mereka tiba-tiba lenyap sewaktu Hasnah mencium bau tidak sedap yang datang dari arah Bambang. Seketika mereka tidak ingin bermain lagi dengan Bambang. Bambang yang sedih justru semakin dijauhi oleh teman-temannya saat Nunung datang sambil membawa beberapa mainan yang lebih bagus dan modern.
©Hary Prasojo
Bambang marah karena dirinya tidak lagi mempunyai teman. Ia menyalahkan pakdhe karena mainan yang dibuatnya tidak sebagus kepunyaan Nunung. Saking marahnya, Bambang membanting semua mainan tersebut serta tidak mau lagi memainkannya. Si mbok yang melihat tingkah Bambang mencoba menasehati agar Bambang tidak berlaku demikian. Tetapi Bambang malah menyuruh pergi si mbok. Baik Bambang dan si mbok sama-sama tidak mengetahui bahwa mainan-mainan yang sekarang tergeletak di atas tanah dapat hidup dan berbicara layaknya mereka berdua.
Cerita di atas adalah cuplikan pementasan “Dolanan Anak #3: Pertunjukan Teater untuk Masyarakat” yang dibawakan oleh Teater Gadjah Mada (TGM), Selasa (7/2). Kesempatan ini dipergunakan TGM untuk mendekatkan teater pada masyarakat dengan cara mementaskannya di panggung terbuka yakni di lapangan badminton Tukangan, Kecamatan Danurejan. “Itu sebenarnya cita-cita dari dulu tapi baru kesampaian sekarang. Tujuannya adalah ingin memberikan hiburan yang berkualitas pada masyarakat serta edukasi yang sederhana dengan isu yang sederhana juga,” terang Erlina Rakhmawati, penulis naskah teater.
Berbeda dengan kedua cerita pementasan teater “Dolanan Anak” sebelumnya, kali ini Erlina mencoba menggabungkan dua unsur yakni anak kecil dan benda atau material. “Saya lebih menekankan pada konflik idealisme terkait dengan paradoks antara modern dan tradisional. Ternyata, semua itu dinilai dari benda-benda karena sekarang manusia udah mulai paham materialisme.” jelas Erlina. Paham materialisme tersebut menurut Erlina juga telah dipraktekkan oleh anak-anak kecil. “Pilih-pilih teman karena sebuah benda itu sebenarnya dimulai sejak kecil,” tambah Erlina.
©Hary Prasojo
Adapun pertunjukan teater “Dolanan Anak #3: Pertunjukan Teater untuk Masyarakat” kembali dipentaskan sebagai wujud apresiasi terhadap teater “Dolanan Anak” sebelumnya. Saat itu teater “Dolanan Anak” berhasil menyabet sebelas piala di ajang Festival Teater Mahasiswa Nasional (Festamasio) V di Palembang. “Karena kita juga mau mempertunjukan pada masyarakat Jogja jadi kami menggunakan tema “Dolanan untuk Masyarakat”,” papar Arie Tegil selaku sutradara pementasan teater.
Selama pementasan teater berlangsung, penonton kerap dibuat tertawa oleh aksi para pemain. Konsep panggung terbuka yang dipakai dalam pementasan teater ini turut mengundang apresiasi. “Inovatif karena mereka memakai “panggung” di tengah kampung. Interaksi dengan masyarakat selama pentas juga bagus. Dengan adanya pertunjukan gratis serta skenario yang melibatkan masyarakat, hakikat hiburan rakyat yang sebenarnya seperti dikembalikan,” puji Danastri Risqi Nabillah, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2010 yang ikut menonton pertunjukan teater TGM.
[Nindias Nur Khalika]