Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Kepala Departemen Kajian Strategis & Kebijakan BEM KM UGM
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Angkatan 2008
Hasil audit BPK mencengangkan. Dalam rentang waktu 2008-2010, BPK mencatat ada 9 temuan pelanggaran yang dilakukan oleh UGM terkait beberapa proyek pembangunan, terutama pengadaan barang dan jasa. Temuan ini merupakan hasil audit dari pendanaan UGM yang menggunakan dana dari APBN.
Atas hasil temuan ini, beberapa elemen di kampus menjadi heboh. Pasalnya, temuan audit ini merupakan sesuatu yang ‘baru’, belum menjadi isu utama sebelumya. Memang temuan ini masih akan ditanggapi oleh UGM hingga beberapa waktu yang akan datang. Akan tetapi, tetap menjadi persoalan. Mengapa akuntabilitas UGM hingga saat ini masih menjadi sebuah pertanyaan besar, bahkan di kalangan mahasiswanya?
Tentu saja kita tidak secara terburu-buru menuding ini adalah tindak korupsi. Akan tetapi, satu hal dapat disimpulkan: transparansi keuangan kampus UGM sampai saat ini masih lemah. Akibatnya, akuntabilitas kampus menjadi pertanyaan besar, karena tidak semua orang bisa dengan mudah mengakses laporan keuangan kampus.
Transparansi
Transparansi sangat penting untuk ukuran sebuah badan publik -apalagi yang mengakses dana APBN- seperti UGM. Menurut peneliti ICW Abdullah Dahlan, ketika kami temui di kantor ICW Kalibata, transparansi anggaran menjadi salah satu parameter keterhindaran kita dari potensi korupsi.
Mengutip Robert Klitgaard, rumus korupsi sederhana saja: minimnya akuntabilitas publik, ketika di saat yang bersamaan terjadi monopoli sumber daya publik dan diskresi pada penggunaan kekuasaan. Ini rumus yang kemudian menjadi salah satu cara mengidentifikasi fenomena korupsi, terutama korupsi politik.
Agar tidak ada monopoli kekuasaan, kita perlu melakukan desentralisasi kewenangan dan transparan dalam proses kebijakan. Termasuk dalam hal ini proses anggaran. Transparansi anggaran publik adalah pengejawantahan dari keterbukaan informasi publik yang dijamin melalui UU 14/2008.
Anggaran belanja kampus UGM dibiayai menggunakan uang rakyat. Uang itu bisa saja yang bersumber dari APBN -yang artinya dibiayai dari pajak rakyat- atau pungutan kepada mahasiswa atau kerjasama. Ketiganya harus terbuka dari awal hingga pertanggungjawaban.
Untuk dana APBN, sudah ada mekanisme audit BPK yang perlu difollow-up tidak hanya dengan menyerahkan LHP kepada DPR, tetapi juga mempublikasikannya secara luas sebagai pengejawantahan hak atas informasi publik. Dana APBN ini harus dapat diakses dan dimonitor oleh masyarakat sipil, termasuk juga oleh mahasiswa yang berkepentingan langsung sebagaistakeholder (pemangku kepentingan) di kampus.
Jelas, jika audit BPK mengindikasikan ada masalah dalam laporan keuangan UGM, akuntabilitas dipertaruhkan. Pertanyaan sederhana, mampukah sebenarnya UGM mengelola dana mahasiswa yang begitu besar? Kita tak usah berpolemik soal komersialisasi terlebih dulu. Pengelolaan dananya saja ternyata masih belum beres.
Untuk dana pungutan dari mahasiswa, perlu juga dilihat penggunaannya. Apakah sudah efektif dan tepat sasaran? Berapa dana sisa? Untuk apa dana tersebut digunakan? Ini menjadi tanda tanya besar. Apalagi, selama ini, RKAT Universitas tidak secara luas tersebarluaskan.
Ini juga berlaku untuk kerjasama. Dari mana dana berasal? Siapa yang memberi dana? Apakah yang memberi dana track record hukumnya bermasalah? Ini perlu dilacak dengan transparansi keuangan. Jika UGM punya sumber pemasukan yang sangat besar, pertanggungjawaban penggunaannya harus clear.
Informasi Publik
Hal yang paling penting untuk didorong, dalam hal ini, adalah hak mahasiswa untuk mengakses informasi anggaran kampus. Ini penting, agar mahasiswa tahu ke mana uang yang dibayarkan ke UGM selama ini dialokasikan.
Akses terhadap anggaran pendidikan, terutama anggaran kampus, adalah hak dari seluruh warga negara Indonesia berdasarkan UU no. 14 tahun 2008. Sekarang adalah era keterbukaan informasi publik. Informasi soal anggaran negara adalah informasi publik yang layak untuk diakses. Seluruh warga negara, berdasarkan UU ini, berhak untuk mengakses anggaran negara agar tidak tercium hawa korupsi.
Oleh sebab itu, perspektif hak atas informasi publik ini meniscayakan kampus untuk bersikap transparan. Inisiatif dari kampus akan menghilangkan prasangka dan potensi sengketa dengan pemohon informasi atas informasi yang ada, termasuk laporan keuangan. Di sisi lain, karena ada audit BPK terkait proyek yang didanai APBN, transparansi akan mengurangi potensi kehebohan karena hasil audit yang tidak menggembirakan.
Maka, kiranya transparansi anggaran kampus UGM perlu menjadi salah satu catatan penting untuk diagendakan oleh pimpinan universitas ke depan. Cukup audit BPK tahun 2008-2010 yang menjadi masalah. Kehebohan ini harus diarifi oleh semua pihak dengan sadar pada hak dan kewajiban masing-masing: kewajiban untuk transparan, hak untuk tahu atas informasi publik yang tersedia.
Pimpinan Universitas perlu menjawab tantangan akuntabilitas ini dengan memberi klarifikasi yang memuaskan atas persoalan audit BPK ini. BEM KM UGM sudah mengajukan permohonan akses terhadap dokumen Laporan Realisasi Anggaran UGM 2010 agar masalah hasil audit tak berpolemik terlalu lama.
Ini adalah era keterbukaanb informasi. Akuntabilitas hingga tuntas adalah bagian komitmen pimnpinan universitas. Tantangan akuntabilitas kampus ini akan dijawab tuntas manakala ada sebuah komitmen: tegakkan transparansi atas semua dokumen keuangan kampus.
Tabik!
*Tulisan ini adalah opini perseorangan.