Di saat UGM sepi oleh aktivitas perkuliahan lantaran sedang minggu tenang, pada sore (5/1), Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSDK) tampak ramai terparkir kendaraan bermotor. Seminar bulanan yang rutin diadakan setiap Kamis di awal bulan itu kali ini mengambil tema Tantangan Politik dan Nasionalisme 2012 dan menghadirkan Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc sebagai pembicara. Dekan Fisipol UGM ini secara garis besar membahas konsep nasionalisme yang perlu diperbaharui beserta segala tantangannya.
Seminar dimulai dengan penyajian berbagai hasil survei yang dilakukan oleh Worldwide Governance Indicators yang dibarengi beberapa lembaga survei. Pada mulanya, peserta seminar disuguhkan hasil survei yang menggambarkan Indonesia sebagai negara paling âbebasâ di Asia Tenggara. Dalam artian, negara dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa ini memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Singapura, apalagi Myanmar dalam kegiatan berdemokrasi. Bagusnya, proses liberasi negeri ini diperkuat dengan grafik yang menunjukkan perkembangannya selama orde reformasi. âPertanyaannya kemudian adalah apakah hak-hak bebas bersuara yang diberikan untuk rakyat sudah didengar?â ujar Pratikno.
Awalnya, Pratikno memaparkan agregat yang menunjukkan kehebatan Indonesia dalam berdemokrasi secara liberal. Namun, presentasi kemudian dilanjutkan dengan penyajian grafik yang menerangkan stagnansi berbagai isu politik selama Orde Reformasi. Masalah-masalah yang diangkat di antaranya adalah stabilitas politik, efektivitas pemerintahan, kualitas regulasi, dan peraturan yang tetap berada pada garis lurus grafik tanpa ada peningkatan yang signifikan. Sementara itu, kontrol terhadap korupsi sendiri cenderung tampak menurun di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono per tahun 2008.
Tantangan Indonesia sebenarnya bukan hanya terjadi di teras birokrasi. Permasalahannya lantas juga merambah pada kedaulatan SDA Indonesia, di antaranya minyak bumi, gas alam, beras, hingga garam. Pratikno menjelaskan, hampir 90% minyak bumi Indonesia dikuasai oleh pihak asing, sementara komoditas agrikultur juga masih mengimpor, yakni impor beras dari Vietnam. âSaat ini bukan hanya fried chicken yang kita impor, bahkan tempe pun hanya raginya yang asli produk Indonesia,â kelakar Pratikno saat menyinggung AS sebagai pemasok kedelai di Indonesia.
Setelah menjabarkan berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia, Pratikno mengajak peserta seminar untuk mempertanyakan kembali mengapa masalah-masalah itu terjadi. Menurutnya, gagalnya pemerintah dalam menjaga stabilitas nasional merupakan salah satu penyebab munculnya tantangan yang berikutnya dapat mengganggu nasionalisme bangsa ini. âMatinya industriawan (pengusaha industriâpen.) dan munculnya pedagang-pedagang yang melakukan birokrasi dengan pemerintah inilah yang kemudian menghasilkan politik ârantaiâ berbiaya tinggi,â papar Beliau.
Tidak sebatas itu, Pratikno juga menyorot goyahnya nasionalisme pada masa ini. âSebaiknya mungkin sudah saatnya kita mengangkat masalah domestik menjadi isu nasional,â tuturnya. Imbuhnya, masyarakat mulai perlu untuk kembali mencuatkan isu âganyang Amerikaâ atau âganyang Chinaâ demi membangkitkan semangat nasionalisme.
Setelah sekitar satu jam pemaparan makalah, sesi tanya jawab pun dibuka untuk enam orang penanya. Masing-masing penanya menyoroti masalah nasionalisme mulai dari yang fundamental hingga aplikasinya pada kehidupan masyarakat. Menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu, menurut Pratikno, masyarakat perlu menerapkan pandangan bahwa nasionalisme bukan lagi sekadar perihal masyarakat harus rukun dengan sesama. âHarus ada redefinisi lagi dari nasionalisme sekarang. Definsi yang harus dikembangkan adalah kita kemampuan kita untuk berdaulat, berdikari dan tetap bermartabat di dalam pergaulan internasional,â tandasnya.
[Yayum Kumai]