“Telah dibuka, Pusat Jajan Lembah UGM”, begitu bunyi tulisan di spanduk yang tergantung di depan parkiran lembah UGM. Sejak 2 Januari 2012 lalu, pedagang usaha kecil (PUK) yang tadinya berjualan di pinggiran jalan kawasan Lembah Bawah (depan Fakultas Peternakan) dan kawasan Lembah Atas (depan Fakultas Hukum) dilarang berjualan di tempat biasanya. Mereka diberi tempat berjualan baru di Pusat Jajan Lembah (Pujale) yang berlokasi di timur parkiran lembah UGM.
Pujale dikelola oleh Koperasi Keluarga Gadjah Mada (Kokelgam). Pusat jajan ini didirikan sebagai bagian dari program besar UGM, yaitu peningkatan kualitas layanan jasa boga di lingkungan kampus. Dr. Jamhari, S.P., M.P., ketua Kokelgam, menyatakan bahwa pemindahan pedagang dilakukan untuk menata jalan-jalan di UGM agar ramah pejalan kaki dan pesepeda. Pemindahan juga dimaksudkan agar pedagang menjadi lebih bersih dan teratur. “Beda dengan universitas lain yang menggusur para PUK. Kita kan universitas kerakyatan, jadi kita hanya memindahkannya ke tempat yang seharusnya,” tambah Jamhari.
Jamhari menjelaskan pula, los di Pujale diperuntukkan hanya untuk eks pedagang di Lembah Bawah dan Lembah Atas. Untuk tiga bulan pertama los masih gratis. Setelah lewat tiga bulan, pedagang hanya akan diwajibkan membayar sewa los Rp 5.000,00/ hari apabila omset hariannya sudah mencapai diatas Rp 600.000,00.
Sosialisasi mengenai pemindahan sudah dilakukan sejak setahun lalu. Berdasarkan sosialisasi tersebut, UGM menjanjikan adanya fasilitas berupa gerobak gratis yang akan diterima setiap pedagang. Warna dan jenis gerobak tersebut diseragamkan bagi tiap-tiap PUK. Selain itu, direncanakan pula ada pelatihan-pelatihan untuk pedagang. “Nantinya juga ada tes lab untuk mengecek apakah makanan sehat atau tidak,” lanjut Jamhari.
Sayangnya, hingga seminggu setelah dipindah, belum semua fasilitas yang dijanjikan diterima oleh pedagang. Bu Saijo, salah seorang pedagang, hingga sekarang masih belum mendapatkan gerobak. “Sampai sekarang belum dapat gerobak, mas. Ini saja saya kepaksa bikin sendiri biar bisa tetep jualan,” keluhnya. Ia menambahkan, UGM kurang serius mempromosikan Pujale kepada masyarakat. Hal ini berdampak pada menurunnya omset. Di tempat berjualan semula ia mampu mengantongi sekitar Rp 1,5 juta/ hari. Sedangkan di Pujale, sehari ia hanya mampu mengais uang antara Rp 300-600 ribu/ hari.
Penurunan omset dialami juga oleh Riono, pedagang es tebu. Ia menuturkan sejak pindah ke Pujale maksimal ia hanya mendapat Rp 50 ribu. Bahkan terkadang pula ia harus rela pulang dengan tangan kosong. “Ya kadang impas antara dapat uang dan kulak tebunya,” ujarnya. Keluhan senada disampaikan oleh Yadi. Ia yang berjualan rokok dan minuman berujar, jumlah pembelinya menurun sejak ia pindah ke Pujale. “Orang malas kalau ke Pujale cuma beli rokok atau minum,” ujarnya.
Selain itu, fasilitas di Pujale tampak belum lengkap. Tenda, meja, dan kursi untuk pembeli masih bersifat non-permanen. Los yang disediakan untuk para pedagang pun hanya 1,5 meter/ pedagang. Jauh lebih sedikit daripada los di Foodcourt UGM yang seluas 2 meter/ pedagang. Keran cuci piring juga hanya ada satu untuk enam los. Sebagai perbandingan, di Foodcourt UGM tersedia satu keran cuci piring untuk dua pedagang. Selain itu, papan nama permanen yang menunjukkan adanya Pujale juga belum ada. Sampai kini, hanya ada spanduk berukuran sedang yang menjadi tanda keberadaan Pujale. Hal ini membuat banyak orang belum mengetahui tentang Pujale meski letaknya strategis. “Saya harus membuat sendiri spanduk biar pelanggan tahu saya pindah kesini,” ucap Bu Saijo seraya menunjukkan dua spanduk yang dipasangnya.
Menanggapi keluhan pedagang, Jamhari selaku Ketua Kokelgam mengatakan semua fasilitas yang dijanjikan akan dipenuhi secara bertahap. Ditambah lagi, tiga bulan pertama memang dimaksudkan sebagai evaluasi. Diharapkan pada bulan Maret, semua masalah terkait fasilitas dan promosi sudah beres.
Upaya UGM untuk mengajak pedagang bersabar tampaknya tidak sepenuhnya tepat. Menurut Bu Saijo, belum semua pedagang dapat kembali berdagang karena ketiadaan gerobak. Padahal, gerobak adalah sarana terpenting bagi pedagang. “Teman-teman saya ya banyak yang nganggur karena belum ada gerobak,” pungkasnya. [M. Ageng Yudhapratama, Khairul Arifin, M. Reksa Pasha]