Mahasiswa difabel juga bagian dari civitas akademika UGM. Namun, masih ada hak-haknya yang belum terpenuhi.
Zul Hafiz, mahasiswa UGM penyandang tunadaksa, terlihat kesulitan ketika menaiki tangga menuju ruang kuliah. Gedung Fakultas MIPA tidak menyediakan akses ram, jalur landai yang diperuntukkan untuk difabel seperti dirinya. “Saya harus dibantu teman setiap kali naik ke lantai dua”, ujar Mahasiswa D3 Komputer dan Sistem Informasi 2011 ini. Begitu juga dengan difabel lain, mereka harus bersusah payah untuk mengikuti kegiatan perkuliahan. Sampai sekarang, fasilitas layak yang menjadi hak mereka belum terpenuhi.
Para difabel kesulitan mengikuti perkuliahan jika hak mereka belum terpenuhi. “Kita di kampus UGM harus bekerja lebih keras untuk mengikuti perkuliahan,” tutur Mukhanif Yasin, mahasiswa penyandang tunarungu. Ditambah lagi, terdapat beberapa pihak yang masih mendiskriminasi para difabel. “Saya pernah diusir dari kelas oleh dosen saat tahu kalau saya tunarungu,” terang Khanif yang merupakan Mahasiswa Sastra Indonesia 2011.
Kesulitan yang sama dialami oleh Rusdian Ika Nurmasari, Mahasiswa PSDK 2010. Ia mengaku belum bisa mendapatkan buku braille ataupun buku audio untuk penyandang tunanetra. Dalam perkuliahan, ia harus dibantu aplikasi komputer yang dapat mengubah tulisan berbentuk soft file menjadi suara. Namun, ia masih kesulitan mendapatkan soft file tersebut. “Saya sudah mengajukan kepada dekan, tapi hingga saat ini belum dipenuhi,” tutur Ika.
Sebenarnya peraturan yang melindungi hak-hak difabel telah disahkan pada tanggal 10 November 2011 lalu. Risnawati Utami, Ketua Konsorsium Nasional Penyandang Disabilitas, mengungkapkan bahwa pemerintah telah meratifikasi Konvensi hak-hak penyandang disabilitas yang dikeluarkan PBB. Hasil dari konvensi tersebut telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Dengan demikian, lembaga yang tidak mengakomodasi kepentingan difabel telah menyalahi hukum. “Ini sudah disesuaikan dengan undang-undang dan semua orang harus patuh, terutama UGM tentunya,” ujarnya.
Pada kenyataannya, hingga saat ini belum ada langkah signifikan terkait aksesibilitas difabel. Menurut Nunu Luthfi, S. T., Kasi Gedung dan Ruang UGM, penyediaan fasilitas untuk difabel terbentur dengan berbagai kepentingan. Salah satunya Gedung Panca Dharma sebagai cagar budaya yang tidak akan direnovasi karena mempertahankan keasliannya. Selain itu, penyediaan fasilitas tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit. “Membuat lift saja, satu perangkat itu harganya antara enam ratus juta sampai satu milyar. Padahal yang menggunakan hanya sedikit,” tambahnya.
Masih minimnya fasilitas yang tersedia bagi para difabel mengisyaratkan perlunya kebijakan universitas yang mengatur tentang hal ini. Mahasiswa difabel di UGM berharap fasilitas dan sarana yang ada mengakomodasi kepentingan mereka. “Saya berharap UGM lebih memperhatikan penyandang difabel sebagai kaum minoritas,” pungkas Hanif. [Ahmad Syarifudin, Dimas Yulian, Khairul Arifin, Marissa Kuncaraning, Rico Fernando, Shiane Anita Syarif]