Judul : Pak AR : Sufi yang Memimpin Muhammadiyah
Pengarang : Moch Faried Cahyono & Yuliantoro Purwowiyadi
Penerbit : Pustaka Ribathus Suffah
Tebal : XI + 137+ XXII halaman
Cetakan : Pertama, Juni 2010
Pemimpin bersahaja, teladan dalam krisis kepemimpinan bangsa.
Fenomena kepemimpinan di Indonesia saat ini amat memprihatinkan. Di satu sisi, banyak pemimpin kita yang intelek, pandai, dan menguasai disiplin ilmu tertentu. Namun di sisi lain, ada masalah pada akhlak kepribadiannya. Syarat seorang pemimpin seperti memegang amanah, memiliki moralitas yang baik, jujur, dan bertanggung jawab tidak terpenuhi. Pada umumnya, pemimpin saat ini adalah politikus yang oportunis dan mendewakan uang, sehingga membuat kehidupan negara makin karut-marut.
Salah satu pemimpin yang dirindukan oleh masyarakat Indonesia sekarang ialah K.H. Abdul Rozaq Fachrudin yang lebih akrab dengan sebutan Pak AR. Mungkin sosok Pak AR kurang dikenal bagi masyarakat luas, namun kepribadian dan kepemimpinannya patut diteladani. Di kalangan Muhammadiyah sendiri, ia adalah seorang pemimpin yang memiliki citra tersendiri di hati banyak warga Muhammadiyah. Pak AR pernah menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang ke-10, yakni pada periode 1968-1990.
Ada beberapa ciri yang menonjol dari Pak AR. Ciri-ciri tersebut ialah kejujuran, kesederhanaan, dan kemampuannya menyampaikan ajaran Islam yang substansial dengan cara yang mudah dipahami semua kalangan. Kesederhanaan hidupnya tak pernah tenggelam dalam godaan duniawi. Pemikirannya yang disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan orang terdekatnya telah diangkat dalam buku “Pak AR : Sufi yang Memimpin Muhammadiyah”.
Pada bab pertama, Moch Faried Cahyono dan Yuliantoro Purwowiyadi menceritakan biografi Pak AR. Ia dilahirkan pada 14 Februari 1916 di Clangap, Purwanggan, Pakualam, Yogyakarta. Ia adalah putra dari Kiai Haji Fachruddin dan Nyai Siti Maemudah binti K.H. Idris Pakualaman. Pendidikan pertamanya adalah sekolah formal bernama Standardschool (SD) Muhammadiyah, Bausasran, Yogyakarta. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Muallimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Sayangnya, pendidikan tersebut tidak sampai tamat. Meskipun demikian, beliau sempat melanjutkan pendidikan dengan mondok di Pondok Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Sosok muda Pak AR dikenal sebagai seorang yang gigih dalam mencari ilmu. Pagi hingga siang hari, Ia mengaji ilmu pada K.H. Abdullah Rosad dan K.H. Abu Amar, serta pada Mbah Fachruddin. Kemudian setiap bada Maghrib, ia belajar di Wustha Muhammadiyah, Wanapeti, Sewugalur, Kulon Progo. Selanjutnya, beliau melanjutkan jenjang pendidikan di Sekolah Guru Darul Ulum Muhammadiyah. Pak AR juga sempat masuk Tabligh School Muhammadiyah untuk belajar menjadi mubalig. Selain itu, Pak AR juga mengenyam pendidikan di beberapa pondok pesantren.
Pada bab berikutnya, dibahas pribadi beliau sebagai pemimpin yang sangat sederhana. Pada era saat seorang kiai bisa menjual kekiaiannya, beliau tetap tidak menggunakan kebesaran namanya untuk mencukupi ekonomi keluarga. Dalam memenuhi kebutuhan keluarga, Pak AR masih berjualan bensin eceren di rumahnya. Ia juga menyewakan beberapa kamar di rumahnya untuk asrama mahasiswa. Tak ada mobil di garasinya, melainkan sebuah motor tua keluaran tahun 1970-an. Jika motor tersebut dipakai anak-anaknya, ia lebih suka naik sepeda onthel, becak, atau jalan kaki.
Kesederhanaan lainnya ditunjukkan dengan menolak tawaran duduk di kursi DPR saat pemerintahan Soeharto. Dia juga menolak duduk di MPR dengan alasan yang hampir sama. Namun akhirnya, ia menerima jabatan sebagai anggota DPA karena sudah dikonsultasikan dengan pimpinan Muhammadiyah yang lain.
Pada Bab “Cara Memimpin Muhammadiyah”, dijelaskan bahwa Pak AR tidak ingin diistimewakan oleh jamaahnya. Jika berkunjung ke suatu wilayah, Pak AR lebih memilih menginap di rumah pengurus daerah yang ada di tempat tersebut daripada tinggal di hotel. Dengan menginap di rumah pengurus daerah tersebut, maka ada kesempatan untuk memahami kehidupan dan masalah yang dihadapi oleh pengurus cabang tersebut. Kebiasaan seperti itu ditularkan kepada generasi muda Muhammadiyah.
Pak AR adalah cerminan pemimpin yang peka terhadap bangsa Indonesia ataupun dunia luar. Ia pernah menyarankan Soeharto untuk lengser dari kursi kepresidenan, lalu menyerahkan kepada generasi muda meski tidak diterima oleh Soeharto. Selanjutnya, dibahas dialog Pak AR dengan Daud Beureuh (tokoh DI/TII) tentang alasan Daud untuk memilih jalan keras dalam perjuangan Islam. Sedangkan kepedulian terhadap dunia luar, ia tunjukkan dengan mengirimkan surat kepada Sri Paus. Inti suratnya adalah mengajak semua pihak untuk hidup bersama dan toleransi secara kesatria.
Tulisan dalam buku tersebut memang sangat menarik untuk dibaca. Dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami khalayak umum, penulis memaparkan perjalanan hidup tokoh. Di tambah lagi, nasihat-nasihat Pak AR yang disajikan dalam bentuk monolog membuat tulisan terasa lebih hidup. Selain itu, penulis juga menghadirkan tulisan bergaya reportase yang menarik. Penulis juga menyampaikan alur kisah secara kronologis, sehingga pembaca akan mudah mengikuti alur kisah yang disampaikan sesuai babak-babak kejadian. Namun demikian, buku ini terkesan minimalis untuk tataran buku biografi. Hal ini karena banyaknya aspek yang ingin diangkat oleh penulis, namun penulis memaparkan seolah-olah hanya permukaannya saja, sehingga kurang komprehensif.
Itulah sekelumit memoar tentang kepemimpinan Pak AR. Jika kita bandingkan dengan kondisi pemimpin kita saat ini, akan tampak kekontrasannya. Pemimpin saat ini berorientasi pada kekuasaan dan kemewahan semata. Menuntut kenaikan gaji, meminta tambahan fasilitas, dan berbagai tuntutan yang tidak diimbangi dengan kinerja mereka. Seolah-olah, nurani para pemimpin kita telah tereduksi oleh kekuasaan dan kemewahan yang mereka dapatkan. Buku ini merupakan “sindiran” keras terhadap kondisi pemimpin-pemimpin bangsa saat ini. Seharusnya, para pemimpin kita merasa malu. Dengan berbagai fasilitas dan kemewahannya, mereka tidak mengimbangi dengan kinerja yang bagus. Mereka seharusnya meneladani apa yang telah digoreskan Pak AR dalam tinta emas riwayat kepemimpinanya. Dengan berbagai keterbatasan fasilitas yang ada, Pak AR mampu menjalankan kepemimpinannya dengan baik. Ia mampu mengayomi dan melindungi orang yang ia pimpin.
Dengan hadirnya buku ini, seakan menjadi pelepas dahaga akan rindunya bangsa ini terhadap sosok pemimpin yang tegas, santun, merakyat dalam kesahajaan. Dalam buku ini, disebutkan bahwa Pak AR adalah sosok pemimpin yang dalam istilah Jawa adalah manjing ajur ajer.Artinya, mampu menempatkan diri sederajat dengan siapa saja, sekaligus memiliki kekuatan moral untuk mengarahkan umat ke arah moralitas sebenarnya. [Phisca Aditya Rosyady, Siti Rakhma Afriana]
1 komentar
Assalamu’alaykum, mhn info utk order buku di atas “Memoar Pak AR: Memimpin dalam Kesahajaan”.
Tks.