Rabu (16/11) sore bertempat di Fakultas Psikologi UGM, Lembaga Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM menyelenggarakan discussion & talkshowbertajuk Skizofrenia dengan tagline“Ketika Halusinasiku Berbicara”. Mereka mengundang seorang psikolog, mantan penderita skizofrenia, serta dokter kejiwaan wakil Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI).
Acara serupa pernah diadakan pada 10 Oktober 2011, bertepatan dengan Hari Kesehatan Mental Sedunia. Serangkaian program tersebut diadakan sehubungan dengan Fakultas Psikologi UGM telah bekerjasama dengan Universitas Harvard dalam mengembangkan program-program peningkatan kesehatan mental.
Dr. Subandi, M.A., Ph.D, psikolog dan juga pengajar di Fakultas Psikologi UGM, mengatakan saat ini mereka sedang menjalankan program anti pemasungan bagi penderita skizofrenia serta penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman dalam menangani skizofrenia. Menurutnya, penyuluhan penting karena ia mendapati di sebagian daerah-daerah terpencil di Indonesia, penanganan penderita skizofrenia seringkali melibatkan kekerasan fisik. Beberapa upaya yang diterapkan di antaranya dengan jalan memasung (dipasangkan sebuah balok kayu pada tangan dan kedua kakinya; acapkali menyebabkan artrofi atau kelainan otot) ataupun mengandangkan (ditahan di kandang bambu) para penderita.
Dari hasil pengamatan Subandi, selain karena mengamuk, penanganan melalui penyiksaan fisik tersebut disebabkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap skizofrenia dipengaruhi hal-hal supranatural. Jalan penyelesaian yang ditempuh pun tak jauh dari upaya-upaya spiritual. Padahal, menurut Subandi, dibandingkan menjalani pengobatan spiritual, orang dengan skizofrenia (ODS) lebih perlu mengupayakan pola berpikir yang positif dan melatih cognitive behavior-nya. “Saya sebagai psikolog tidak mengakui wacana spiritual. Meski saya akui pengobatan semacam itu kadang bisa jadi support karena mensugesti pasien. Tapi skizofrenia bukan disebabkan oleh hal semacam itu.”
Enam puluh persen faktor skizofrenia adalah kesalahan pola asuh, kerentanan terhadap stres, dan otak yang mengalami disfungsi karena neurotransmitter di dalam otak tidak seimbang. Skizofrenia berasal dari kata skizo (arti: terbagi), di mana penderitanya tidak bisa membedakan hal-hal nyata dengan hal-hal yang hanya berjalan di dalam pikiran mereka. “Skizofrenia terdiri atas tiga gejala, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gejala kognitif,” jelas Dr. Tika Prasetiowati, dokter kejiwaan di RSU Sardjito.
Gejala-gejala positif terdiri atas halusinasi (respon tanpa disertai stimulus [rangsangan—pen.]; dapat mendengar meski tak ada suara dan melihat meski tak ada obyek), delusi atau waham (keyakinan yang salah dan bersifat irasional serta egosentris), gejala negatif terdiri atas alogia (tidak dapat mengutarakan komentar), hilangnya kemampuan untuk mengekspresikan rasa senang atau sedih, dan kehilangan motivasi, sementara gejala kognitif berupa hilangnya kemampuan untuk berkonsentrasi, sulit untuk fokus, serta mengalami disorientasi.
“Satu persen dari 100 orang penduduk Indonesia menderita skizofrenia,” ujar Subandi. Sementara itu, menurut survei di era 1980-an, 2-3% dari 120 juta penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Pada kebanyakan kasus, menurutnya ODS seringkali ditelantarkan. Mendukung Subandi, Tika mengambilkan contoh pada ODS di jalanan Yogyakarta. Mereka hidup tanpa keluarga, dibiarkan tidur di jalan; kulit hitam kumal, pakaian compang-camping, dan tidak menunjukkan ekspresi wajah.
“Stigma masalah gangguan jiwa berkembang. Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) berkolaborasi untuk mendiskusikan dan menangani bersama masalah tersebut,” ujar Tika. Karenanya, ada jalan-jalan yang perlu ditempuh untuk membantu para ODS. Kolaborasi psikolog, psikiatri, dan para praktisi pengobatan mental lainnya perlu mengupayakan sistem yang terintegrasi untuk melakukan pengobatan farmakologi (dengan bantuan obat—pen.) hingga rehabilitasi.
Namun demikian, pendekatan personal dapat menjadi jalan terbaik dalam mengatasi skizofrenia yang tidak disebabkan kerusakan pada otak. Filipus Gunawan, mantan ODS, menceritakan pengalamannya selama menderita skizofrenia. “Dulu saya pernah punya waham saya memperoleh harta karun Soekarno, tapi melihat diri saya yang orang biasa-biasa saja, saya jadi depresi dan punya keinginan untuk bunuh diri,” ujarnya. Untuk penyembuhan, istrinya membantunya menjadi lebih terbuka, kemudian mereka membicarakan pikiran apa yang memberatkan Filipus. Hingga kini, ia mengaku dapat terlepas dari pengaruh waham-wahamnya.
“Seorang penderita skizofrenia tidak mengalaminya selamanya. Walau begitu, ada stressor yang menjadi pemicu bila mental belum stabil,” ujar Tika. Karenanya, penanganan skizofrenia dapat memakan waktu dari enam bulan hingga satu tahun. Dalam kesempatan itu, Tika mengajak hadirin untuk turut peduli pada para ODS dengan berdiskusi bersama melalui fórum KPSI. Dalam forum KPSI, Tika dan timnya menjelaskan pengetahuan-pengetahuan mengenai skizofrenia kepada 4600-an member yang sudah bergabung secara daring di Facebook. [Dewi Kharisma Michellia]
1 komentar
Saya tertarik dengan tulisan anda. Kemana kami menghubungi jika ingin berdiskusi lebih lanjut tentang penanganan penderita skizofrenia> Terimakasih untuk bantuan dan kerjasamanya.