“Saya ingin Papua merdeka,” kata Media Wahyudi Askar mahasiswa Manajemen Kebijakan Publik 2008, dalam pembukaan diskusi Memahami Papua yang diadakan oleh Intelektual Muda Fisipol (IMF). Pernyataan ini mengundang pro dan kontra dari para peserta diskusi. Banyak peserta yang menyanggah pernyataan Media saat itu (16/11). Menurut mereka, belum tentu Papua akan lebih baik jika merdeka dan terpisah dari Indonesia.
Media yang punya pengalaman tinggal dengan orang-orang Papua menceritakan potongan sejarah Papua. Cerita ini belum tercatat dalam buku sejarah. Bahwa pada dasarnya tanah Papua bukanlah tanah Indonesia. “Mohammad Hatta tidak setuju jika Papua menjadi bagian dari Indonesia,” terang Media.
Sejarahnya, saat Indonesia merdeka Papua masih dijajah oleh Belanda. Pada saat itu terdapat dua kelompok yang berbeda kepentingan. Satu kelompok ingin Belanda pergi, lalu bergabung dengan Indonesia. Sedangkan kelompok yang lain ingin Belanda pergi, tetapi ingin papua tetap menjadi papua. Kedua kelompok ini tidak dapat dipersatukan. Akhirnya dibuatlah suatu perjanjian, ketika Papua masuk ke dalam Indonesia maka Papua akan dimerdekakan.
Ivan Nasara, mahasiswa Hubungan Internasional 2008, menambahkan, Papua bebas dari Belanda pada tahun 1969. Namun sayangnya pada saat itu Papua diserang modernisasi dengan masuknya PT.Freeport ke tanah Papua. Keadaan tersebut diibaratkan layakanya gelombang yang sangat besar oleh Ivan. “Saat Industri tambang masuk ke Papua, warga papua yang tidak mengerti tentang hubungan industrial dan pengorganisasian menjadi terjajah,” ujar Ivan.
Beralih dari permasalahan modernisasi dengan sistem kapitalisme yang masuk di tanah Papua. Sebenarnya masih banyak persoalan yang belum tersentuh sama sekali. Contohnya adalah kemiskinan dan pendidikan. Satu permasalahan di Papua yang tidak terlihat oleh pemerintah yaitu kebudayaan. Orang Papua memberikan mahar pernikahan dua ratus hingga tiga ratus juta. Jika uang mahar tidak ada, maka sang lelaki akan meminta ke keluarga besarnya. Jika keluarga tidak dapat membantu dalam bentuk uang, maka mereka akan mengambil harta bendanya.
Selain itu untuk masalah pendidikan masyarakat Papua lebih menyerahkan kepada alam. “Mereka menganggap anak adalah manusia yang berkembang dengan sendirinya” ungkap Media. Bagi mereka, pemikiran atau nilai-nilai dari pemerintah belum tentu penting. “Anggaplah Papua itu sebagai liyaning liyan, yang tidak bisa kita sikapi dengan pandangan kita” tegas Ivan. Karena sebenarnya mereka juga ingin sejahtera seperti laiknya masyarakat Indonesia di daerah lain. “Dong juga ingin sejahtera, tapi mungkin bukan hari ini” ujar Media meniru kata Orang Papua yang pernah ia dengar menutup diskusi Memahami Papua sore itu (16/11). [Dini Prima]