Selasa (18/10), merupakan hari berbahagia bagi Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara dan Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Yudhanegara yang baru saja menjadi sepasang suami-istri. Kebahagiaan ini juga disambut meriah oleh masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Ribuan orang memadati jalan Malioboro sampai alun-alun utara Keraton. Mereka rela berdesak-desakan demi melihat kirab sepasang pengantin yang diarak dari Keraton menuju Kepatihan Yogyakarta. Kemeriahan yang berlangsung sepanjang sore ini berhasil menarik perhatian masyarakat baik nasional maupun internasional. Beberapa pertunjukkan
Sekitar 200 angkringan disiapkan sebagai hidangan gratis untuk masyarakat yang menyaksikan kirab. Namun, hidangan tersebut belum boleh dimakan sebelum pengantin keluar dari Keraton dan tiba di Kepatihan. Saat hidangan telah digelar di Kepatihan, hidangan dari angkringan-angkringan juga akan turut dibuka. Sehingga keluarga Sultan dan semua rakyat yang hadir menikmati hidangan pada waktu bersamaan.
Pria tinggi ini merupakan salah satu pemain pertunjukan kesenian Reog Topeng Ireng dari Boyolali. Berdiri di atas egrang dan membawa tongkat dengan panjang sekitar dua meter, pria ini menarik perhatian ribuan penonton. Pertunjukkan tersebut merupakan bagian dari iring-iringan pengantin di sepanjang jalan Malioboro sesaat sebelum kirab dimulai.
Tak mau kalah dari Reog Topeng Ireng milik Boyolali, pelajar-pelajar dari Nusa Tenggara Timur (NTT) juga turut memeriahkan suasana dengan menampilkan tarian khas daerah. Selain dari NTT dan Boyolali, iring-iringan pengantin juga dimeriahkan oleh beberapa pertunjukkan dari daerah-daerah lain.
Beberapa masyarakat, terutama ibu-ibu paruh baya, jatuh pingsan dan harus dilarikan ke unit kesehatan terdekat akibat berdesak-desakan. Meski begitu, ribuan masyarakat lain tetap saja gigih berdesakan demi melihat pasangan pengantin Kesultanan.
Penari Bedhaya Manten laki-laki menunggang kuda menuju bangsal kepatihan. Kuda-kuda yang terlihat gagah ini juga melambangkan kejantanan.
Berbeda dengan para penari Bedhaya Manten laki-laki, para penari Bedhaya Manten perempuan menaiki kereta kencana menuju bangsal kepatihan.
Para prajurit Wirabradja berbaris rapi di belakang prajurit Lombok Abang. Terdapat lebih dari seratus prajurit yang turut mengawal kirab.
Akhirnya, pada pukul 16.50, kereta pengantin keluar dari Keraton dan mulai berjalan perlahan menuju Kepatihan. KPH Yudhanegara, melambaikan tangan kepada masyarakat yang sudah menantikan pasangan pengantin ini. Adat yang dipakai dalam perayaan ini memang berbeda dengan pernikahan kedua putri Sri Sultan sebelumnya yang memakai kirab Mubeng Beteng. Pada pernikahan GKR Bendara ini, kirab tidak mengelilingi benteng Keraton, melainkan diarak menyusuri jalan dari Keraton menuju Kepatihan. Adat semacam ini pernah dipraktikkan pada zaman Sultan Hamengkubowono VII.
Kedua mempelai tak henti memancarkan senyum kebahagiaan dari atas kereta sepanjang jalan menuju kepatihan. Di belakang kereta kuda mempelai, lima kereta kuda lain yang mengangkut para kerabat dekat mempelai berjalan menyusul.
Para penari menampilkan tarian Bedhaya Manten dihadapan kedua mempelai di Balai Kepatihan Yogyakarta. Tarian Bedhaya Manten merupakan hasil karya Sultan HB IX dan simbol perjalanan cinta sepasang kekasih sejak kecil hingga ke pelaminan. Tarian ini diiringi permainan dua paken gamelan keraton yang memang khusus digunakan untuk tarian gaya Yogyakarta.
Suasana malam hari di Balai Kepatihan saat resepsi sedang berlangsung. Resepsi pernikahan dihadiri oleh ratusan pejabat dan empat puluh raja-raja dari seluruh nusantara. Prosesi resepsi yang dilangsungkan di Kepatihan ini pun mengikuti adat pelaminan pada masa Sultan HB VII. [Sonia Fatmarani]