Puluhan mahasiswa memadati ruang 103 Fisipol UGM pada Jumat (29/9) lalu. Mereka menghadiri diskusi bertajuk “Komersialisasi di Balik Kebijakan Transportasi UGM”. Staf khusus UGM bidang transportasi, Deda Suwandi, menjadi pembicara bersama Andryan Wikrawardana, lulusan Planologi UGM, dan Azhar Irfansyah, Pemimpin Redaksi BPPM Balairung.
“Pada dasarnya, kebijakan ini ditujukan untuk menciptakan suasana kondusif,” tutur Deda. Ia juga memaparkan kondisi keamanan di UGM sebelum dan sesudah diterapkannya portal dan KIK. “Namun dalam beberapa hal saya pribadi berbeda dengan rekan-rekan di rektorat, seperti pemberlakuan disinsentif misalnya,” ujarnya. Menurut Deda, berdasarkan peraturan hukum yang berlaku, pihak UGM wajib mengganti bila ada kendaraan yang hilang jika ia mengenakan disinsentif berbayar. “Bayangkan saja kalau ada mobil mewah yang hilang, bisa habis anggaran untuk mengganti mobil,” ucapnya.
Andryan juga memaparkan berbagai persoalan terkait kebijakan transportasi UGM. Menurutnya, sumber dari permasalahan yang timbul akibat kebijakan transportasi UGM adalah sifat egois dalam pembuatan kebijakan. Pihak-pihak yang terkena dampak kebijakan tidak diperhatikan. Pedagang Kaki Lima (PKL), masyarakat, bahkan mahasiswa sebagaistakeholder tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. “Ketika kebijakannya sudah jadi, baru mahasiswa diajak kumpul untuk dengar pendapat. Hanya formalitas,” tuturnya. Sikap yang menganggap semuanya seperti alat inilah yang memicu protes dari berbagai elemen mahasiswa. “Masyarakat, mahasiswa dan PKL seharusnya lebih di ‘uwong’ kan,” serunya.
Azhar Irfansyah memperkuat pernyataan Andry. Menurutnya, UGM yang telah menjadi ruang publik seharusnya lebih terbuka dalam merumuskan kebijakan. Pihak UGM seharusnya memikirkan dampak kebijakan tersebut bagi publik. Mahasiswa pun selayaknya tidak lagi menentukan sikap atas dasar kepentingan pribadi. “Kalau ada yang ikut demo anti KIK cuma gara-gara ingin membawa motornya ke lingkungan kampus dan keberatan membayar seribu, lebih baik tidak usah ikut demo deh,” tegasnya.
Azhar juga menjelaskan bagaimana mahasiswa selayaknya mengambil sikap. Menurutnya, semua pertimbangan mahasiswa harus diambil dengan memikirkan kepentingan bersama. Anggapan baik dan buruk atas kebijakan transportasi di UGM pun selayaknya didasarkan pada pertimbangan dari berbagai perspektif. Jika ada mahasiswa yang menganggap kebijakan ini baik, selayaknya mereka memikirkan kembali kebaikan tersebut dari sisi yang berbeda. “Baik bagi siapa dulu? Kalau untuk mahasiswa mungkin kebijakan ini baik, kita bisa nyaman belajar tanpa gangguan. Tapi bagi PKL dan petugas SKKK, ini jelas tidak baik. Bagi PKL, kebijakan ini jelas merenggut hajat hidup mereka. Petugas SKKK juga jelas dirugikan karena disuruh jadi tukang karcis, kesehatan paru-paru mereka juga terancam,” paparnya.
Menanggapi pernyataan tersebut, Deda memberikan penjelasannya. Ia dapat memahami apa yang dipaparkan Azhar dan Andry. Menurutnya, dalam pelaksanaan di lapangan memang terdapat beberapa hal yang kurang. Sistem dan prosedur penetapan kebijakan memang belum begitu baik. “Namun niat dan tujuan dari kebijakan ini sudah baik, hanya sistemnya yang masih perlu dibenahi,” jelasnya. Ia juga mengapresiasi simpati yang disampaikan Azhar terhadap petugas SKKK.
Rizal, salah seorang peserta diskusi menyampaikan kesangsiannya terhadap konsep educopolisdan ramah lingkungan sebagai latar belakang kebijakan transportasi di UGM. Ia juga mempertanyakan keseriusan UGM untuk mewujudkan kampus yang ramah lingkungan.
Pemikiran tersebut ditanggapi oleh Andryan. Menurutnya, konsistensi UGM untuk menjaga lingkungan dari polusi memang sangat diragukan. Penerapan kebijakan transportasi untuk mengurangi polusi di UGM bertolak belakang dengan pembangunan di wilayah UGM. “Perhatikan saja bangunan-bangunan di UGM, sangat tidak ramah lingkungan. Ada berapa AC dan lampu di setiap kelas, hitung saja energi yang dihabiskan setiap harinya,” ujarnya. Pembangunan gedung-gedung di UGM juga mengurangi ruang terbuka hijau di lingkungan kampus. “Seharusnya UGM membayar setiap pembangunan yang dilakukan dengan menambah lahan terbuka hijau,” tandasnya.
Janu, mahasiswa JPP 2011 menyuarakan keluhan dari teman-temannya. Ia mempertanyakan solusi yang belum jelas dari pihak UGM atas larangan membawa kendaraan bermotor. Ia mengeluhkan kantung parkir yang sering penuh dan sepeda kampus yang tidak memadai. Ia pun menitipkan keluhan tersebut pada Pak Deda, “Sampai kapan kami tidak diizinkan membawa kendaraan bermotor, pak?” Janu juga menyampaikan keprihatinannya atas kondisi di UGM. “UGM sekarang sudah seperti kompleks hunian elite. Ada bangunan tipe eksklusif sampai sederhana,” candanya, merujuk pada bangunan gedung FEB dan Filsafat.
Deda Suwandi sebagai satu-satunya pihak dari rektorat yang hadir menanggapi dengan terbuka segala kritik, saran dan keluhan tersebut. “Saya akan sampaikan keluhan dari saudara-saudara, mudah-mudahan didengarkan pembuat kebijakan” tuturnya.
[Ibnu Hajar]