Dalam doa yang sederhana, seorang petani desa di lereng Gunung Sindoro berucap lirih. Ia meminta Tuhan berkenan mengubah jalan takdir keluarganya yang petani turun temurun. Ia sudah berikhtiar. Satu dari tiga anaknya disekolahkan hingga ke bangku universitas agar kelak bisa bekerja ākantoranā atau menjadi PNS.
Cerita di atas hanya satu dari sekian banyak gejala yang hari ini kian diabaikan dalam visi dan praktik dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Banyak keluarga petani atau nelayan menghendaki anak-anaknya bisa menempuh jalan hidup yang lebih layak. Profesi di wilayah rural tidak menjanjikan apapun selain kemiskinan. Bahkan terkesan, petani atau nelayan bukanlah profesi. Bukankah jarang kita mendengar ada istilah petani atau nelayan profesional?
Di level warga, gejala itu menandai ketidakberdayaan rakyat menghadapi pemiskinan struktural. Di level pendidikan, gejala itu menunjukkan pergeseran orientasi. Ironis, di satu sisi, gagasanĀ link and matchĀ terus didengungkan agar dunia pendidikan tinggi bisa menyediakan tenaga kerja siap pakai untuk pasar kerja formal. Sementara, di sisi lain, fakta dan kekuatan agraria justru dilupakan.
Ironi semacam ini, seperti banyak dimengerti, dipompa arus neoliberalisme dalam wujud komersialisasi pendidikan terutama dalam satu dekade terakhir. Sebagai komoditas, pendidikan menjadi sulit dibedakan dengan produk kosmetik atau Blackberry yang bisa dijualbelikan secara bebas. Pendidikan bukan lagi berdasar pada hak warga negara, melainkan daya beli konsumen.
Sekitar 10 persen penduduk yang menikmati bangku pendidikan tinggi adalah satu lapisan ākelas menengahā dalam keseluruhan fenomena kependudukan di Indonesia. Alih-alih menjadi kelompok sosial yang bisa menawarkan solusi, angka 10 persen ini berpotensi menjadi kelompok elit dan beban pembangunan. Sementara proyek-proyek yang bersifat link and match masih belum kunjung membuktikan janjinya, jumlah pengangguran terdidik terus meningkat dari tahun ke tahun.
Ikhsan Mojo (2009) pernah menghitung bahwa pada tahun 2009 peningkatan jumlah penganggur terdidik mencapai 12 persen (1,1 juta orang). Meningkat dua kali lipat dari persentase tahun 2004 yang berkisar pada 5,7 persen (585 ribu orang). Para penganggur terdidik ini terjebak dilema, mendapat pekerjaan formal terasa susah, sementara membangun desa terasa segan dan kebingungan.
Selain itu, dari hari ke hari, ada kecenderungan yang kian menguat bahwa mahasiswa bukan bagian dari rakyat. Ini yang secara satir disebut oleh Emha Ainun Nadjib (2005), āBahkan mahasiswa masuk kuliah hari pertama bisa terjebak anggapan diam-diam di dalam dirinya, mulai hari itu ia melangkah meninggalkan kebodohan rakyat yang kemarin masih jadi bagian darinya. Kapan ada rezim tumbang, harus mahasiswa yang direkognasi sebagai pelaku utama. Sebab,Ā agent of changeĀ mustahil pelakunya adalah rakyat.ā
Reorientasi Pedesaan
Orientasi pedesaan bukan berarti anti-kota, anti-modernisasi, atau anti-industrialisasi. Pentingnya orientasi pedesaan semata-mata karena fakta bahwa 80 persen wilayah Indonesia merupakan wilayah perdesaan. Tradisi keilmuan dan praktik akademik perlu menyelami kehidupan rakyat justru karena banyak teori impor tidak manjur membaca dan menyelesaikan problem keindonesiaan. Sivitas akademik mesti secara sungguh-sungguh āberguruā pada rakyat yang justru terbukti memiliki daya tahan dan daya juang paling tangguh dalam sejarah Indonesia.
Dalam sejarah pendidikan tinggi di Indonesia, gagasan integral terkait dengan pengabdian pada masyarakat desa bukan hal baru. Program Kuliah Kerja Nyata, misalnya, yang digagas mendiang Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri hingga hari ini masih banyak diterapkan di hampir semua perguruan tinggi. Dalam pikiran Pak Koes, sapaan Prof. Koesnadi, urgensi KKN bagi mahasiswa pertama-tama justru bukan pada program yang dilakukan. Yang penting adalah pengalaman dan ikatan batin mahasiswa pada masyarakat. Kata Pak Koes (dalam Tarli Nugroho, 2010), āSangat berbahaya kalau mahasiswa yang merupakan calon pemimpin masa depan malah tidak mengenal rakyatnya. Mereka tidak harus kembali ke desa, mereka bisa jadi apa saja, tapi tetap harus memiliki orientasi pedesaan.ā
Sekurang-kurangnya ada tiga rute yang bisa ditempuh agar dunia pendidikan tinggi memiliki relevansi kembali dengan kenyataan hidup rakyat Indonesia. Rute pertama ada di level kebijakan. Ini menyangkut kehendak politik (political will) para birokrat di instansi pemerintahan hingga birokrat di kampus. Tentu agenda mendasarnya adalah merevisi beberapa pasal UU Sisdiknas yang terbukti membuka celah lebar bagi komersialisasi pendidikan.
Agenda yang tak kalah penting adalah akses yang disediakan pemerintah agar mahasiswa memiliki banyak saluran untuk memesrai persoalan-persoalan rakyat di daerah. Misalnya saja, Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal bisa menggalang kerjasama dengan Dikti. Kerjasama itu bisa berbentuk program mahasiswa mengajar di sekolah-sekolah daerah tertinggal selama kurun waktu tertentu. Program seperti ini terbukti mujarab. Gagasan KKN muncul di benak Pak Koes yang masih mahasiswa ketika ia mengajar anak SMP-SMA di Nusa Tenggara. Inisiatif semacam ini belakangan sudah digalakkan kembali oleh Gerakan Indonesia Mengajar yang dipimpin Anies Baswedan.
Rute kedua adalah jalur keilmuan. Mengingat keanekaragaman masyarakat Indonesia, paradigma keilmuan di Indonesia harus mencari jalan atau mazhabnya sendiri. Tidak sekadar membebek teori-teori Barat. Jalan ke arah itu sebenarnya sudah dirintis sejumlah nama. Antara lain, Moebyarto dengan Ekonomi Pancasilanya, Sartono Kartodirjo dengan Historiografi Indonesia-nya, Driyarkara dengan Filsafat Kemanusiaannya, Satjipto Rahardjo dengan Hukum Progresif-nya, Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetik-nya, atau Sajogyo dengan Agraria Pedesaan-nya. Memang, membangun tradisi keilmuan yang setia pada kenyataan hidup nusantara bukan perkara mudah mengingat sejarah kesarjanaan di Indonesia selalu berjalan terputus-putus, lupa untuk mengakumulasikan dirinya, sehingga nyaris tak memiliki kesinambungan tradisi.
Rute ketiga bertempat di jalur pergerakan. Sepanjang periode paska 1998, nampak kecenderungan gerakan mahasiswa semakin terkooptasi isu-isu elitis. Dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, pergerakan mahasiswa terperangkap dalam situasi untuk selalu reaksioner. Meski bisa baik atau buruk, yang jelas kecenderungan ini mengikis kedekatan emosional dan pergaulan dengan massa rakyat. Isu-isu elitis, seperti kasus Century misalnya, tidak selamanya adalah isu penting di level rakyat. Karena itu, sudah saatnya gerakan-gerakan mahasiswa kembali ke basis rakyat, menyelami sungguh-sungguh keprihatinan rakyat dengan keterlibatan yang intens.
Ringkas kata, menyelesaikan aneka masalah keindonesiaan, pada dasarnya, harus berpijak pada kenyataan keindonesiaan yang hari ini menunggu dikuak di desa-desa sekujur nusantara. Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong-nya berseru,Ā Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing/Diktat-diktat hanya boleh memberi metode/Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan/Kita musti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa/Menghayati sendiri semua gejala/Dan menghayati persoalan yang nyata.
[Oleh: Ahmad Musthofa Haroen, mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM]