Judul : Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan
Pengarang : Zaiyardam Zubir
Penerbit : INSIST Press
Tebal buku : XIV + 312 halaman
Cetakan : 1, Juli 2010
Menelisik sejarah budaya kekerasan telah mendarah daging dalam bangsa kita.
Kekerasan bukanlah sejarah baru. Menurut A. Latief Wiyata (2002:10) dalam buku yang berjudul Human Culture, kekerasan dapat dikatakan sebagai budaya manusia yang disebabkan oleh konflik. Akan tetapi, dalam perkembangannya, tindakan kekerasan dapat terjadi pada orang-orang yang tidak terlibat dalam konflik. Mengutip dari Abink, Latief menjelaskan bahwa aspek kekerasan itu luas, mulai dari tindakan penghancuran harta benda, pemerkosaan, penyiksaan sampai pembunuhan, yang bersifat ritual (ritual multulation).
Hal itulah yang ingin dikaji oleh Zaiyardam Zubir dalam bukunya yang berjudul Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan. Di Indonesia, kekerasaan mempunyai sejarah yang panjang. Salah satunya adalah masyarakat Minangkabau. Terdapat dua nilai kuat yang mempengaruhi tingkah laku dan pemikiran masyarakatnya, yaitu adat dan agama Islam. Pada periode tertentu kedua nilai ini berdampingan mesra. Namun, pada periode tertentu kedua nilai tersebut seringkali bertabrakan dan menjadi konflik berkepanjangan. Contohnya, peristiwa Perang Paderi (1821-1837), yaitu perang saudara antarkelompok agama yang tergabung dalam kaum Paderi melawan kelompok adat.
Persoalan tanah juga menjadi sumber utama kekerasan di Minangkabau. Surat Kabar Haluan(12 Mei 2003) melaporkan hampir 70% pembunuhan yang terjadi di Sumatera Barat berawal dari konflik tanah. Di sana, tanah merupakan simbol suatu kaum sehingga harus dibela dan dipertahankan meskipun jalan kekerasan harus ditempuh. Dalam konflik tanah, faktor harga dirilah yang mempengaruhi budaya kekerasan pada masyarakat Minangkabau. Keengganan masyarakat membawa persoalan tanah ke ranah pengadilan disebabkan oleh mafia peradilan. Ibarat pepatah, perkara 1 ekor kambing tapi biaya yang dikeluarkan seperti 1 ekor sapi.Pengadilan adat pun ternyata tidak bisa diharapkan lantaran penghulunya kerap bermasalah dengan ahli waris terkait pembagian tanah.
Perang antarkampung pun sudah membudaya dalam masyarakat Minangkabau. Perang ini lebih dikenal dengan bacakak banyak. Becakak banyak pun mempunyai sejarah yang panjang. Persoalan pertikaian antarkampung sendiri diawali pada perang Paderi. Permasalahan ini pun tak terlepas dari persoalan harga diri. Harga diri menempati peringkat tertinggi dalam kekerasan masyarakat Minangkabau. Kaum mudanya pun sering kali menjadi pemicu bacakak banyak. Seperti yang terjadi saat diadakan organ tunggal –di sebuah pesta perkawainan di Malana Batusangkar. Rici tewas ditikam Irwan hanya karena salah paham . Penikaman terjadi karena Rici merasa dilecehkan oleh tatapan mata Irwan Sehingga keributan pun tidak terhindarkan.
Robert Gurr (1971) merumuskan ciri-ciri kekerasan terdiri atas beberapa tingkatan. Pertama, turmoil , tindakan kekerasan yang bersifat spontan dan tidak teroraganisir, seperti pengeroyokan pada pencuri. Kedua, conspiracy, kekerasan yang terorganisir rapi dan partisipasi yang terbatas, contohnya pembunuhan berencana, kudeta, dll. Ketiga, internal war adalah kekerasan politik yang terorganisir rapi dan diikuti oleh partisipasi dari luar. Dalam konteks ini, kasus kekerasan di Poso, Aceh dan Papua masuk dalam internal war.
Menurut tetua adat di Sikabau, pertarungan bacakak banyak bersifat spontan dan sulit diduga. Minuman keras dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan. Di beberapa daerah, anak dan orang tua minum segelas berdua layaknya minum kopi. Minuman keras mudah didapat tak terkecuali di kawasan pedesaan Minangkabau. Dalam kasus lain yang terjadi di Sumatera Barat malah lebih mengerikan. Peperangan antar dua kampung yaitu Sungai Dareh dengan Pulau Punjung. Terjadi pertikaian bacakak banyak tyang melibatkan30.000 orang yang mengakibatkan jalur lintas Sumatera mengalami macet total selama lima hari. Kekerasan antarkampung ini menewaskan lima orang tewas dari kedua belah pihak. (Surat Kabar Harian Padang Ekspres, 20 Desember 1999).
Kekerasan becakak banyak dianggap penyakit sosial masyarakat Minangkabau. Apabila hal ini dibiarkan dapat menjadi api dalam sekam. Memang dalam keseharian terlihat biasa saja, tetapi, ledakan yang akan terjadi akan sulit diduga seperti granat lepas kendali. Berbagai kebijakan yang ada, dalam konteks penanggulangannya, lebih baik ditinjau kembali. Langkah konkret yang dapat dilakukan adalah melalui analisa kebijakan, sebab kebijakan yang sudah ada belum sepenuhnya dapat menanggulangi persoalan yang sedang terjadi. (Soedjatmoko, 1984). Kebijakan penguasa yang menunggu jatuh korban dahulu adalah kebijakan yang keliru. Permasalahan-permasalahan yang remeh menjadi pesoalan yang besar disebabkan tidak adanya kecakapan pemimpim daerah dan atau adat. Mengamati secara saksama peta kekerasan di Minangkabau, memeliki suatu benang merah antara satu dengan yang lain. Intinya masih dalam koridor terkait keinginan untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan. Akan tetapi yang dipertaruhkan terlalu mahal yaitu nyawa manusia.
Buku dengan tebal 312 halaman ini menyajikan penelitian yang komperhensif terkait sejarah kekerasan dari dua sisi yaitu Agama Islam dan Adat. Namun, penelitian ini terasa kurang sebab tidak terdapat pemaparan mengenai aspek hukumnya. Terlepas dari itu semua, buku ini dapat menjadi referensi yang bagus untuk menggugat kembali, apakah benar negara kita adalah bangsa yang beradab? [Faris Fachryan]