(Oleh: Suci Nurani Wulandari, juara ketiga Lomba Penulisan Cerita Pendek Apresiasi Sastra KMSI UGM 2011) Aku lapar. Aku sudah terbiasa lapar sejak kecil. Faktor kaumku yang gelandangan adalah alasan kuat kenapa aku selalu kelaparan. Lapar adalah takdirku. Mungkin aku dilahirkan pada bulan Desember. Mungkin tanggal 25. Mungkin karena namaku Natal Louisa. Ada tato yang ditemukan di punggungku bertuliskan “my name is natal louisa”. Begitulah riwayatnya kenapa gadis gelandangan punya nama yang bagus. Saudara-saudara seperjuanganku bilang namaku terlalu bagus, sehingga mereka memberiku julukan baru. Cindes. Nama Natal hanya untuk mereka yang diberkati, hidup enak, kaya raya dan tidak pernah kelaparan. Setidaknya itu pendapat saudara-saudara seperjuanganku. Siapa peduli urusan nama jika ada banyak hal lain yang perlu diprioritaskan? *** Aku lapar. Hanya satu orang yang memberiku makan setiap harinya. Ibu. Ibu yang sama dengan milik saudara-saudara seperjuanganku. Kami memanggilnya “big mama”. Big Mama yang baik, hanya saja dia bisa menjadi sangat kasar jika setoran harian kami kurang dari lima ribu rupiah. Big Mama orang yang tegar. Tidak ada yang pernah melihatnya menangis. Kecuali aku. Aku pernah sekali melihat Big Mama menangis, tanpa sengaja. Hari itu, Jack menghilang. Kakak paling tua nomor dua di antara kami. Anaknya baik dan penurut. Walaupun Jack penghasil uang paling sedikit di antara kami, tapi dia baik. Hari itu dua hari setelah Jack menghilang, kami rapat akbar. Tidak ada satu orangpun yang tahu di mana keberadaan Jack. Tidak ada juga yang repot-repot mencarinya. Seminggu kemudian, Jack ditemukan di dekat jembatan, tanpa nyawa dan mata. Kami semua menangis meronta-ronta. Jack yang baik mati membusuk di pinggir jembatan. “Itu takdir Jack!” hanya itu yang diucapkab Big Mama dengan lantang saat yang lain menangis. Big Mama tidak kehilangan Jack. Dia bahkan bersikap seolah memang begitulah seharusnya Jack mati. Jack dan kami lahir sebagai seorang gelandangan, hidup sebagai seorang gelandangan dan matipun sebagai seorang gelandangan. Tidak ada pilihan lain. Tapi hati seorang ibu tetap saja jelmaan surga. Seperti apapun ia akan mengasihi dan mencintai. Malamnya, ketika aku melewati jembatan seusai sekolah malam, aku tanpa sengaja melihat Big Mama menangis. Sendirian. Dan tanpa suara. *** Aku lapar. Lapar tidak pernah membuat kami bodoh dan lemah. Hanya sesekali membuat sekarat. Aku benci sekali ketika orang-orang yang menulis kisah di koran mengatakan bahwa gelandangan adalah kaum yang bodoh dan lemah. Kami, anak-anak Big Mama pergi ke sekolah setiap Senin malam dan Kamis petang saat hari sedang tidak hujan. Beralaskan kardus dan beratapkan langit. Bersama kakak-kakak mahasiswa yang terlanjur kaya dan berhati mulia, kami berkenalan dengan huruf dan angka. Sedikit demi sedikit, kami bisa membaca, menulis, dan berhitung. Big Mama mengizinkan kami sekolah selama uang setoran harian kami tetap di atas lima ribu rupiah setiap harinya. “Mama, apa kita memang kaum yang bodoh dan lemah?” “Kita ini bukan kaum bodoh dan lemah. Bukan. Kita hanya kurang beruntung.” *** Aku lapar. Kadang ada tangan-tangan yang nakal karena tuntutan setoran lima ribu rupiah setiap harinya. Lapar membuat kami berani melakukan hal-hal yang mengerikan. Mencuri misalnya. Aku pernah melakukannya sekali. Sayangnya, Big Mama benci pada pencuri. Jadilah kami gelandangan yang tidak mencuri karena sebuah kisah. Kisah itu tidak pernah bisa dilupakan. Hari itu aku mencuri sepasang sandal yang terlihat mahal di halaman masjid. Itu pencurian pertama dan terakhirku. Big Mama menatapku tajam dan mengingatkanku lagi pada semua nasihat-nasihatnya. “Kuat bukan berarti melemahkan orang lain. Pintar bukan berarti membodohi orang lain. Hidup itu untuk memberi dan mencari, bukan mencuri.” Aku menangis tersedu-sedu di depan Big Mama. Namun dia tetap saja mengoceh panjang lebar. Semua mata saudara-saudaraku memandangi pisau yang dibawa Big Mama. Lalu ruangan hening. Dan jari kelingking tangan kananku terpotong. Aku menjerit. Sakit luar biasa. Begitulah cara Big Mama menghukum seorang pencuri. Kisah itu tidak akan pernah basi bagi kami. Sayangnya, Tuhan tidak menghukum pencuri-pencuri lain dengan hukuman milik Big Mama. Sayang sekali. Jika Tuhan menghukum semua pencuri seperti Big Mama menghukumku, pasti banyak orang di dunia ini yang tidak memiliki jari sama sekali. *** Aku lapar. Malam ini malam natal. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada perayaan. Tidak ada hadiah Santa. Hanya saja hari ini saudara-saudara seperjuanganku tidak memanggilku Cindes, tetapi Natal. Nama itu terdengar sangat indah ketika diucapkan dengan sepenuh hati. Cindes berarti “Cina desa”. Orang Cina yang berjiwa desa. Namun julukan itu diberikan kepadaku karena Big Mama berasumsi bahwa aku ini orang Cina. Mataku sipit, kulitku yang paling putih di antara saudara-saudarku, dan ada tato dua huruf Cina di bawah tato “my name is natal louisa”. Aku hanya berdoa setahun sekali pada Tuhan. Dengan doa yang sama. “Jika memang ini takdir dan garis hidup yang Kau berikan, aku berterimakasih. Jika aku melangkah tidak melalui garisMu dan aku berusaha membengkokkan takdirMu, maafkan aku. Tolong, lindungi Big Mama dan saudara-saudaraku. Jagalah orang-orang yang tidak beruntung dan kelaparan selalu, Tuhan.” *** Aku lapar. Hari ini mengejutkan sekali. Di koran ada tulisan besar-besar DPR STUDY BANDING FAKIR MISKIN. Di situ tertulis, banyak sekali uang yang dikeluarkan untuk pergi ke luarnegeri. Hanya untuk belajar tentang fakir miskin. Tentang orang-orang miskin dan gelandangan. Heran. Kenapa mereka tidak mendatangi kompleks rumah kardusku saja. Kan lebih dekat dan murah. Mau belajar apa soal miskin dan lapar? Mau pelajaran yang bagaimana? Akan aku ajari. Gratis. Kalau hanya tentang miskin dan rasa lapar kaumku lebih pintar dibanding yang lain. Ke sini saja. Kenapa harus jauh-jauh sampai sana? Banyak sekali hal yang tidak adil yang dibiarkan begitu saja oleh Tuhan. Aku melaporkannya pada Big Mama. Dia hanya tertawa lalu mengoceh. “Tuhan tidak pernah tidur, Natal cantik. Dia hanya sedang minum kopi.” *** Aku lapar. Satu-satunya alasan yang membuatku bertahan hidup adalah rasa lapar. Lapar kasih sayang. Lapar pendidikan. Lapar keadilan. Lapar yang sesungguhnya lapar. Dan lapar oleh rasa ingin tahu. Lapar adalah sahabat Indonesia. Yang menemani tanpa rasa bosan. Yang mendampingi dengan penuh semangat. Lapar adalah sahabat Indonesia. Yang menguatkan dan menjadi dasar bagi banyak keputusan. Yang setia bahkan ketika yang lain berkhianat. Lapar adalah sahabat Indonesia, sejak dulu sampai hari ini. Karena ketika rasa lapar itu datang, hanya ada dua pilihan. Satu, berjuang untuk makan lalu kenyang dan menang. Dua, menyerah untuk mati lalu tidak ada lagi rasa lapar selamanya, dan kalah.