Kamis (26/5) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ibnu Kholdun dan Al Khawarizmi mengadakan bedah buku tentang Islam dan demokrasi. Dialog yang diadakan di GKU FISIPOL UGM tersebut bertajuk Demokrasi Dibawah Bayangan Mimpi N-11: Dilema Politik Islam Dalam Peradaban Modern.
Acara ini mendatangkan 4 pendedah sekaligus, Abdul Munir Mulkhan dan Bilveer Singh selaku penulis, Fahmi Prihantoro dosen FIB UGM, dan Ahmad Norma Permata selaku dosen UIN Sunan Kalijaga.
Pemaparan terkait buku yang disampaikan oleh Ahmad Norma dan Fahmi Prihartoro menjadi topik awal dari bedah buku ini. Norma menjelaskan tentang keadaan politik islam masa kini yang menilai politik islam berada pada titik yang tidak pasti. Ketidakpastian yang dimaksud ialah situasi politik islam dirasa menjadi ukuran dari lahirnya orang-orang ekstrimis dalam islam. Kehadiran N-11 atau dikenal dengan nama NII, terjadi karena beberapa faktor selain titik jenuh dan ketidakpastian. “Kegalauan terhadap sistem yang ada dan permainan politik aparat keamanan bisa menjadi salah satu faktornya,” ujar Ahmad.
Dalam konteks lain, Fahmi membeberkan peran pendidik dalam islam yang konservatif. Perbedaan pemahaman yang banyak terjadi dalam islam, tidak disikapi dengan bijak oleh umatnya. “Itu hanya persoalan pemahaman, sangat wajar apabila ada perbedaan,” paparnya.
Selain penjelasan Fahmi, Bilveer Singh menambahkan paparan isi buku tersebut. “Indonesia merupakan negara yang strategis dan aman, tapi ada perbedaan pemikiran yang lebih mengacu pada kekerasan,” ujarnya. Hal ini terlihat dari pemaparan kisah Bilveer ketika mengunjungi Indonesia tahun 1992 yang berbeda dengan tahun 2001 keatas. Perbedaan yang mencolok dari tahun tersebut adalah meningkatnya kekerasan yang mengatasnamakan agama. Ia juga menjelaskan bahwa mahasiswa mempelajari islam hanya melalui internet dan buku saja. “Dengan demikian mahasiswa seringkali terjebak pada konsep jihad, karena tidak didampingi tutor dalam memahami islam.” ungkapnya. Hal ini menjadi dasar ketika hal yang dipelajarinya menjadi melenceng dalam penafsiran islam sendiri. Disamping itu dengan tidak adanya tutor, konsep syahid ataupun jihad seringkali tidak dapat dibedakan antara rasa dan rasionya.
Abdul Munir pun tidak ketinggalan menguraikan isi bukunya. Ia berpendapat bahwa latar belakang intelektual orang islam sendiri berbeda. Islam yang dilandasi sebagai gerakan budaya, akan lebih menerima perbedaan interpretasi tersebut. “Latar belakang intelektual umat islam ini, akan membawa kita pada islam sebagai gerakan kebudayaan,” ujarnya. Abdul Munir menyinggung soal teologi islam untuk menjawab banyaknya perbedaan pemikiran dalam islam. “re-interpretasi dan pembaharuan menjadi jalan untuk memahami konteks yang selalu berubah” tambahnya.
Selepas uraian singkat dari semua para pendedah, sesi selanjutnya diisi dengan tanya jawab. Abdul Munir menjawab dengan tegas salah satu pertanyaan tentang tidak bisa berdampingannya demokrasi dan islam. “Jika melihat sejarah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), orang islam modernis menampilkan jiwa zaman juga tafsir dalam beberapa dasar negara. Hal itu menjadi bukti islam dan demokrasi bisa berdampingan,” pungkas guru besar UIN Sunan Kalijaga ini. [Rizki]
1 komentar
makasih sudah sedikit mencerahkan tp sayang kurang komplit pdhl lg btuh buat tgas 🙂