Mahasiswa UGM dari berbagai latar belakang suku bangsa, ras, dan agama datang ke Yogyakarta untuk belajar sembari menanggung tujuan serta janji dalam benaknya kepada keluarga masing-masing. Harapan keluarga setelah menuntut ilmu, menjadi orang yang berguna dan punya peran bagi lingkungan sekitar, melebihi kontribusi orang tuanya saat ini, bukan malah menjauh dan meninggalkan keluarga karena alasan kurang manusiawi seperti perbedaan pandangan hidup. Karena, perbedaan pandangan, anggap saja sebagai bagian yang biasa dalam hidup ini. Manusia punya kapasitas akal, pikiran, dan jiwa yang berbeda satu sama lain.
Untuk mempersiapkan mahasiswa jika telah lulus agar berguna bagi masyarakat, salah satu elemen pendukungnya ialah aspek keagamaan dan pembenahan mental sesuai agama yang dianut oleh tiap-tiap mahasiswa UGM. Aspek keagamaan khususnya Islam di UGM, memang betul-betul diperhatikan oleh rektorat, fakultas maupun jurusan. Pandangan ini bertitik tolak pada pandangan umum saja alias penilaian masyarakat awam, coba kita lihat pada tatarangrassroot (tataran kecil, sepele yang sering kita alami), didukung juga oleh kita sebagai mahasiswa yang ikut merasakan dan terlibat dalam segala aktifitas keislaman di kampus UGM.
Aktifitas keislaman, ambil contoh follow up pemandu Asistensi Agama Islam (AAI) dengan model small group dimana satu pemandu (biasanya angkatan senior) membimbing beberapa mahasiswa angkatan dibawahnya. Mekanisme ini secara tidak langsung merupakan cara yang sangat ampuh untuk melakukukan training atau pelatihan lebih mendalam sehingga adik angkatan lebih paham perihal apa yang disampaikan oleh pemandu AAI. Padahal jika kita berpikir ulang, kapabilitas dari pemandu AAI yang notabene merupakan mahasiswa juga patut dipertanyakan.
Mahasiswa sejatinya masih dalam kategori remaja yang sifat-sifat khas seperti pencarian jati diri, emosi mudah labil, dan mudah terpengaruh lingkungan menjadi bagian penting dalam dirinya. Demikian pula pemandu AAI maupun mahasiswa yang dipandu. Ketika pemandu menyampaikan pemikiran kepada yang dipandu, padahal kondisi keduanya, baik pemandu maupun yang dipandu sama-sama berstatus mahasiwa, maka bukan tidak mungkin akan muncul kebimbangan yang semakin bimbang.
Bukan pencarian yang bermanfaat, tetapi justru mengarahkan pada pemikiran-pemikiran tertentu yang notabene berbeda dengan keputusan Rektor nomor 80/P/SK/PD/2001 tertanggal 01 Oktober 2001 (lihat Panduan Akademik 2009 Program Sarjana, Bab Pendidikan dan Pengajaran). Pendidikan akademik punya tujuan mencetak mahasiswa menjadi warga negara yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berjiwa pancasila, memiliki integritas kepribadian yang tinggi, terbuka dan tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan masalah yang dihadapi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan bidang keahlian, sekaligus menampung berbagai pengharapan cita-cita dari sang penitip amanah tidak lain tidak bukan adalah wali dari mahasiswa.
Pendalaman agama khususnya Islam yang utuh dan tidak parsial, menyeluruh atau holistik, berbicara masalah kontekstual memang perlu, ini untuk mengimbangi intelektualitas disiplin ilmu mahasiswa yanng bersangkutan. Tanpa pemahaman yang luas, fleksibel, dan menyeluruh, bagaimana menyikapi miniatur perbedaan ras, agama, suku bangsa di UGM ini seperti disinggung di awal.
Berbicara masalah dampak dari ketidak menyeluruhan tersebut, bisa menjadi sarana yang mudah bagi organisasi keagamaan tertentu yang meng-atas-nama-kan Islam masuk menjadivolunter pemandu AAI dengan terlebih dahulu menumpang pada pusat-pusat kegiatan kerohanian Islam mahasiswa UGM mulai dari Badan Semi Otonom Fakultas, Universitas, maupun lembaga-lembaga lain luar kampus UGM. Proses seperti ini mau tidak mau sangat rentan dimanfaatkan, apalagi kampus UGM sebagai miniatur suku bangsa di Indonesia bisa menjadi laboratorium untuk melakukan percobaan tertentu terkait Islam yang menerimaBhinneka Tunggal Ika maupun tidak.
Disinilah peran para pendidik yang ada di Rektorat, Fakultas, dan Jurusan untuk ikut berperan terutama proses seleksi pemandu AAI ini. Harapannya, pemandu AAI yang lolos seleksi mampu atau setidaknya menjadi kepercayaan untuk melihat bahwa kampus UGM itu adalah Bhinneka Tunggal Ika, kerakyatan, toleransi, tenggang rasa seperti kita mengamalkan nilai Pancasila, tidak hanya syariah Islam mutlak semata. Jika kriteria pemandu AAI sulit dicapai, alangkah baiknya hal ini langsung ditangani oleh pendidik di Universitas sebagai solusi akhir.
Oleh:
M. Fathul Farikh F, mahasiswa Antropologi Budaya UGM 2009
Mahasiswa UGM dari berbagai latar belakang suku bangsa, ras, dan agama datang ke Yogyakarta untuk belajar sembari menanggung tujuan serta janji dalam benaknya kepada keluarga masing-masing. Harapan keluarga setelah menuntut ilmu, menjadi orang yang berguna dan punya peran bagi lingkungan sekitar, melebihi kontribusi orang tuanya saat ini, bukan malah menjauh dan meninggalkan keluarga karena alasan kurang manusiawi seperti perbedaan pandangan hidup. Karena, perbedaan pandangan, anggap saja sebagai bagian yang biasa dalam hidup ini. Manusia punya kapasitas akal, pikiran, dan jiwa yang berbeda satu sama lain.
Untuk mempersiapkan mahasiswa jika telah lulus agar berguna bagi masyarakat, salah satu elemen pendukungnya ialah aspek keagamaan dan pembenahan mental sesuai agama yang dianut oleh tiap-tiap mahasiswa UGM. Aspek keagamaan khususnya Islam di UGM, memang betul-betul diperhatikan oleh rektorat, fakultas maupun jurusan. Pandangan ini bertitik tolak pada pandangan umum saja alias penilaian masyarakat awam, coba kita lihat pada tatarangrassroot (tataran kecil, sepele yang sering kita alami), didukung juga oleh kita sebagai mahasiswa yang ikut merasakan dan terlibat dalam segala aktifitas keislaman di kampus UGM.
Aktifitas keislaman, ambil contoh follow up pemandu Asistensi Agama Islam (AAI) dengan model small group dimana satu pemandu (biasanya angkatan senior) membimbing beberapa mahasiswa angkatan dibawahnya. Mekanisme ini secara tidak langsung merupakan cara yang sangat ampuh untuk melakukukan training atau pelatihan lebih mendalam sehingga adik angkatan lebih paham perihal apa yang disampaikan oleh pemandu AAI. Padahal jika kita berpikir ulang, kapabilitas dari pemandu AAI yang notabene merupakan mahasiswa juga patut dipertanyakan.
Mahasiswa sejatinya masih dalam kategori remaja yang sifat-sifat khas seperti pencarian jati diri, emosi mudah labil, dan mudah terpengaruh lingkungan menjadi bagian penting dalam dirinya. Demikian pula pemandu AAI maupun mahasiswa yang dipandu. Ketika pemandu menyampaikan pemikiran kepada yang dipandu, padahal kondisi keduanya, baik pemandu maupun yang dipandu sama-sama berstatus mahasiwa, maka bukan tidak mungkin akan muncul kebimbangan yang semakin bimbang.
Bukan pencarian yang bermanfaat, tetapi justru mengarahkan pada pemikiran-pemikiran tertentu yang notabene berbeda dengan keputusan Rektor nomor 80/P/SK/PD/2001 tertanggal 01 Oktober 2001 (lihat Panduan Akademik 2009 Program Sarjana, Bab Pendidikan dan Pengajaran). Pendidikan akademik punya tujuan mencetak mahasiswa menjadi warga negara yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berjiwa pancasila, memiliki integritas kepribadian yang tinggi, terbuka dan tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan masalah yang dihadapi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan bidang keahlian, sekaligus menampung berbagai pengharapan cita-cita dari sang penitip amanah tidak lain tidak bukan adalah wali dari mahasiswa.
Pendalaman agama khususnya Islam yang utuh dan tidak parsial, menyeluruh atau holistik, berbicara masalah kontekstual memang perlu, ini untuk mengimbangi intelektualitas disiplin ilmu mahasiswa yanng bersangkutan. Tanpa pemahaman yang luas, fleksibel, dan menyeluruh, bagaimana menyikapi miniatur perbedaan ras, agama, suku bangsa di UGM ini seperti disinggung di awal.
Berbicara masalah dampak dari ketidak menyeluruhan tersebut, bisa menjadi sarana yang mudah bagi organisasi keagamaan tertentu yang meng-atas-nama-kan Islam masuk menjadivolunter pemandu AAI dengan terlebih dahulu menumpang pada pusat-pusat kegiatan kerohanian Islam mahasiswa UGM mulai dari Badan Semi Otonom Fakultas, Universitas, maupun lembaga-lembaga lain luar kampus UGM. Proses seperti ini mau tidak mau sangat rentan dimanfaatkan, apalagi kampus UGM sebagai miniatur suku bangsa di Indonesia bisa menjadi laboratorium untuk melakukan percobaan tertentu terkait Islam yang menerimaBhinneka Tunggal Ika maupun tidak.
Disinilah peran para pendidik yang ada di Rektorat, Fakultas, dan Jurusan untuk ikut berperan terutama proses seleksi pemandu AAI ini. Harapannya, pemandu AAI yang lolos seleksi mampu atau setidaknya menjadi kepercayaan untuk melihat bahwa kampus UGM itu adalah Bhinneka Tunggal Ika, kerakyatan, toleransi, tenggang rasa seperti kita mengamalkan nilai Pancasila, tidak hanya syariah Islam mutlak semata. Jika kriteria pemandu AAI sulit dicapai, alangkah baiknya hal ini langsung ditangani oleh pendidik di Universitas sebagai solusi akhir.
Oleh:
M. Fathul Farikh F, mahasiswa Antropologi Budaya UGM 2009