Kejahatan kemanusian yang dialami rakyat Sidoarjo akibat semburan lumpur panas Lapindo bermula pada 26 Mei 2006. Semburan yang telah berlangsung 5 tahun itu telah menenggelamkan desa dan menghancurkan ekonomi rakyat Porong, Jabon, dan Tanggulangin.
Semakin dahsyat dampak semburan, semakin bersemangat pihak Lapindo menyatakan semburan lumpur akibat bencana alam, sehingga solusinya membiarkan semburan lumpur berhenti secara alami. Itu skenario yang terbaca publik selama kasus Lapindo berlangsung, terbukti dengan kurang seriusnya PT Lapindo Brantas dalam melakukan upaya menutup sumber semburan lumpur serta menjamin masyarakat mendapatkan hak-haknya.
Pihak Lapindo beranggapan, hanya dengan membayar ganti rugi dan penanganan tanggul, permasalahan akan selesai. Tetapi apakah benar? Tentu tidak. Sejak lumpur panas menyembur dari sumur eksplorasi Banjar 1 milik Lapindo, 28 Mei 2006 lalu, kini sudah 16 desa tenggelam dan sekitar 70.000 Kepala Keluarga (KK) menjadi korban. Banyak fakta yang diabaikan pihak Lapindo, terutama dalam kesehatan, air bersih, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Proses ganti rugi sendiri pun tidak berjalan lancar. Tercatat, hanya 12.000 KK yang menerima ganti rugi. Hanya sebagian kecil KK dari total korban yang dapat merasakan ganti rugi dari Tragedi Lumpur Lapindo.
Dampak Buruk Semburan Lumpur Lapindo
Fakta tentang gas-gas akibat semburan lumpur Lapindo yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, selalu menghantui para keluarga yang mengungsi. Mata air bersih sebagai sumber kehidupan pun menjadi sulit didapat. Pihak Lapindo seakan tutup mata dengan apa yang dialami warga yang rumahnya terendam lumpur Lapindo. Masyarakat yang menjadi korban, seakan berteman dengan dengan gas-gas beracun. Tempat pengungsian yang letaknya tidak jauh dari lokasi titik semburan menjadi faktor utama cepatnya gas-gas beracun dari Lapindo hinggap di paru-paru warga.
Ditengah hiruk pikuk klaim pemerintah yang membanggakan kemiskinan telah menurun, tenyata hanya melalui kacamata kasus Lapindo saja sudah terjawab, kemiskinan masih terus-menerus menghinggapi negeri ini. Masyarakat kehilangan pekerjaan, lahan pertanian bahkan rumah telah hilang ditelan lumpur. Pendidikan anak-anak korban lumpur semakin tidak jelas nasibnya. Sekolah mereka terendam, ditambah pula dengan tidak adanya biaya untuk bersekolah di tempat lain. Kondisi ini sangat miris. Anak-anak yang seharusnya duduk manis menerima pelajaran di sekolah, harus menanggung kerasnya hidup pada usia yang masih sangat belia. Apakah kita rela para generasi harapan bangsa tidak mengenyam pendidikan karena rumah, sekolah, dan mata pencaharian orang tua mereka terkubur dalam lautan lumpur? Fakta-fakta diatas adalah setitik realita dari sekian banyak fakta-fakta yang muncul dari awal semburan hingga sekarang ini.
Dampak buruk semburan lumpur Lapindo juga kian meluas dan tak terkendali. Di kawasan Porong, kini telah terjadi penurunan tanah yang membahayakan rumah. Rumah yang semula tidak tenggelam oleh lumpur pun terancam roboh. Bukan hanya penurunan tanah, gas liar yang mudah terbakar pun muncul di kawasan itu. Bukan hanya itu, sejak muncul semburan lumpur pada 2006, warga Porong pun harus menghirup udara beracun setiap hari.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mengungkapkan adanya peningkatan jumlah orang yang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Porong. Pada 2006, saat munculnya semburan Lapindo, jumlah penderita ISPA mencapai 26 ribu orang. Pada 2008, meningkat menjadi 46 ribu orang. Celakanya, warga Porong tidak memiliki cukup uang untuk menanggung biaya kesehatan dan keselamatan jiwanya. Mereka telah lama kehilangan mata pencarian.
Rencana pengeboran kembali oleh Lapindo
Berita mengejutkan kembali datang dari Sidoarjo. Lapindo berencana menambah titik eksplorasi di Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin, yang hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat semburan lumpur. Baru kemarin rasanya, semburan lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan warga Porong. Rumah, tanah, dan juga harapan warga Porong, Sidoarjo untuk hidup layak seperti warga lainnya seakan hilang, begitu muncul semburan lumpur Lapindo. Di saat air mata masih basah, di saat luka masih menganga, Lapindo berencana mengeksplorasi minyak dan gas bumi (migas) di wilayah itu lagi.
Dari sisi ekonomi, mungkin eksplorasi itu layak karena Provinsi Jawa Timur memang terkenal sebagai penopang migas nasional. Pertanyaannya, meskipun secara ekonomi layak, tapi apakah secara sosial rencana Lapindo untuk kembali melakukan pengeboran itu juga layak? Mengapa Lapindo seperti mengabaikan kejadian semburan lumpur pada 2006 silam?
Keberanian Lapindo untuk kembali melakukan pengeboran di Sidoarjo setidaknya didasarkan dua alasan. Pertama, pemerintah menyatakan semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam dan tidak terkait pengeboran. Pernyataan itu didukung pula dengan tindakan Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus pidana Lapindo.
Keyakinan itu seakan mengabaikan dokumen rahasia Medco, mitra Lapindo dalam mengeksplorasi migas di Blok Brantas, yang menyatakan semburan lumpur di Sidoarjo terkait dengan aktivitas pengeboran. Bahkan, laporan audit BPK dan pendapat mayoritas pakar pengeboran internasional menyatakan hal yang sama, tetapi diabaikan pemerintah.
Kuatnya keyakinan pemerintah bahwa semburan lumpur merupakan bencana alam juga tercermin dari munculnya wacana untuk menjadikan kawasan semburan sebagai tempat wisata geologi. Pesan dari munculnya wacana itu sangat jelas bahwa semburan lumpur justru membawa berkah bagi masyarakat sekitar karena kawasan yang terkena semburan dapat menjadi tempat wisata. Artinya, akan mendatangkan uang. Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkan lagi jika ada eksplorasi migas lanjutan di kawasan itu. Jika nanti terjadi kecelakaan pengeboran, toh akan tetap membawa berkah bagi masyarakat sekitar.
Kuatnya keyakinan pemerintah bahwa semburan lumpur Lapindo merupakan bencana alam, juga terlihat dari pola penanganan dampak semburan lumpur. Persoalan ganti rugi dibelokkan menjadi sekadar persoalan jual beli aset. Artinya, jika persoalan jual beli aset itu selesai, maka selesai pula kasus Lapindo. Karena kasusnya sudah selesai, tidak ada alasan lagi untuk mempermasalahkan ekplorasi migas baru di kawasan itu.
Namun, sesederhana itukah sebenarnya kasus Lapindo? Ternyata tidak. Kasus Lapindo bukan hanya persoalan jual beli aset korban lumpur. Sebab, semburan lumpur tidak hanya berdampak pada tenggelamnya tanah dan rumah warga, tetapi juga menyangkut hilangnya hak-hak warga lainnya. Semburan lumpur juga berdampak pada munculnya semburan gas metan yang muncul secara liar dan mudah terbakar di rumah-rumah penduduk, penurunan tanah di kawasan yang membahayakan konstruksi rumah, dan polusi udara dan air. Singkat kata, persoalan Lapindo bukan hanya persoalan jual beli aset. Andaikan persoalan jual beli aset ini selesai, tidak otomatis kasus ini selesai. Masih ada persoalan hak-hak korban lumpur yang harus segera dipulihkan.
Bahkan, jika mau ditelisik lebih dalam, kasus Lapindo bukan hanya sekadar persoalan semburan lumpur. Ada persoalan perizinan pertambangan di kawasan padat huni. Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia misalnya, menyebutkan sumur pengeboran migas harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan, atau tempat-tempat lain yang berpotensi menimbulkan sumber nyala api. Bagaimana dengan ekplorasi pengeboran dalam kasus Lapindo? Sumur Banjar Panji-1 hanya berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana publik, dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina.
Kini, kita telah melihat bahwa rezim SBY telah membodohi rakyat Indonesia karena tetap melindungi Lapindo yang jelas-jelas bersalah, daripada membela rakyat Porong yang telah 5 tahun menderita. Mungkin SBY, Bakrie dan juga para pejabat tinggi di negeri ini belum pernah dan tidak akan pernah merasakan penderitaan panjang korban Lapindo. Korban Lapindo telah kehilangan hampir semua yang dimilikinya dan penderitaan mereka telah melewati batas-batas kewajaran. Padahal warga Porong juga manusia seperti kita. Mereka berhak hidup layak seperti warga negara lainnya.
Oleh: Forum Advokasi Mahasiswa (FAM) Unair