Minggu (8/5) pagi, bertempat di Fakultas Biologi UGM, Kelompok Studi Entomologi (KSE) UGM menggelar diskusi bertajuk “Serangan Ulat Bulu di Indonesia”.
Diskusi ini merupakan salah satu upaya KSE UGM untuk membahas faktor serangan ulat bulu secara ilmiah. Salah seorang pembicara, Dr. Suputa, M.P., dosen jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, memaparkan dugaan awal penyebab terjadinya serangan dikarenakansilica yang dihasilkan aktivitas gunung api, vegetasi hutan yang semakin langka, berkurangnya jumlah burung pemakan serangga, dan resistensi serta resurgensi hama terhadap zat kimia.
Dalam diskusi ini, Dr. R. C. Hidayat Soesilo Hadi, Kepala Laboratorium Entomologi Fakultas Biologi UGM, menjelaskan tiga hal yang harus diperhatikan untuk menangani kasus serangan hama, yaitu Regulasi, Limitasi, dan Stabilitas (R-L-S). Dalam kasus ini, Regulasi dijelaskan sebagai proses munculnya hama pada suatu ekosistem, disebabkan oleh Density Independent Regulation dan Density Dependent Regulation, sementara Limitasi dijelaskan sebagai proses pembatasan hama, serta Stabilitas sebagai keadaan seimbang dari jumlah organisme dalam suatu ekosistem.
Disamping siklus R-L-S, ledakan jumlah organisme dapat dipicu oleh dua faktor, yakni keterkaitan ketersediaan nutrisi (food quality) bagi hama dan faktor lingkungan seperti faktor predator, parasit, dan suhu lingkungan. Oleh karenanya, untuk melimitasi serangan serta mencapai titik keseimbangan, faktor penyebab regulasi hama perlu diperhatikan. “Dalam siklus, semua jenis organisme akan kembali ke proses keseimbangan. Permasalahan yang muncul, waktu ledakan yang terjadi di luar faktor perioditas,” terang Hidayat.
Hadir pula Albertus Prasetyadi, mahasiswa HPT yang telah melakukan penelitian bersama Suputa di daerah Probolinggo, Kendal, Payakumbuh, Yogyakarta, Bangka, Batu, Bali, dan Subang. Hasil penelitian Suputra dan Albertus menunjukkan, silica yang dihasilkan oleh aktivitas gunung api adalah pemicu awal munculnya ulat bulu. “Kita bisa lihat serangan ulat bulu di wilayah-wilayah seperti Yogyakarta, Kendal, dan Probolinggo. Semua itu bisa jadi disebabkan oleh aktivitas Merapi, Kendal, dan Bromo,” papar Suputa.
Ulat bulu yang diprediksi kehilangan vegetasi hutannya, bermigrasi ke daerah pertanian, yang biasanya terletak dekat dengan pemukiman warga. Berkurangnya jumlah burung pemakan serangga menyebabkan ulat bulu dapat tinggal lebih lama pada pohon inang. Ulat bulu menyerang daerah pemukiman warga dengan menjadi inang pada pohon mangga. Selain itu, ulat bulu juga ditemukan pada pohon kenanga dan pohon salam. “Sebenarnya kasus serangan ulat bulu sudah sering terjadi, mungkin karena sekarang ulat bulu menyerang pemukiman warga dan pertanian setempat, kasus ini dimunculkan oleh media,” jelas Suputa.
Tahun 2008, 700 Ha rambutan di daerah Subang terserang ulat bulu. Sementara itu, pada tahun 2011, ulat bulu kembali menyerang 14.183 pohon mangga milik warga. Berdasarkan kuantitas, tentu dua kasus tersebut tidak jauh berbeda, namun demikian, pemberitaan mengenai kasus ulat bulu yang terjadi di tahun 2011 lebih gencar diberitakan karena menyerang berbagai tempat dalam waktu relatif bersamaan.
Selain itu, banyak media menyebutkan kasus serangan ulat bulu sebagai wabah. Suputa menilai hal tersebut sebagai kesalahan yang cukup fatal. “Pemberitaan itu penting, tetapi pemberitaan yang benar lebih penting lagi. Wabah ulat bulu tentu tidak benar, karena spesies di tiap tempat berbeda,” tandasnya. [Michelia]