Rencana Induk Pengembangan Kampus (RIPK)2005-2015 menetapkan penutupan beberapa akses masuk dan pembangunan portal gate di sekitar wilayah UGM. Kebijakan ini bertujuan untuk menerapkan konsep educopolisdi UGM. Penerapan konsep ini disinyalir mampu memberikan ruang belajar yang kondusif bagi mahasiswa. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan mampu mengurangi tindak kejahatan dan asusila di wilayah UGM.
Berdasarkan tinjauan kembali penulis pada laporan utama Balkon edisi 10 September 2009, kebijakan penutupan jalan dan pembangunan portal ini menuai penolakan dari beberapa kalangan. Pertama, kalangan mahasiswa, yang menggelar demonstrasi dan aksi protes. Mahasiswa menilai kebijakan ini merupakan upaya komersialisasi kampus. Kebijakan ini, selain dianggap bertentangan dengan prinsip kerakyatan juga menjauhkan UGM dari masyarakat. Kedua, beberapa staf pengajar UGM juga mengaku menolak kebijakan ini. Salah satu staf menyatakan bahwa kebijakan ini tidak realistis, karena tata ruang kampus yang belum menunjang. Staf lain menyatakan bahwa alasan yang diungkapkan, yaitu kejahatan dan asusila tidak memiliki dasar data statistik yang jelas, sehingga sejak semula, kebijakan ini dinilai tidak berdasar.
Menanggapi hal ini, Divisi Riset Balairung mengadakan jajak pendapat yang dilaksanakan pada 24 sampai dengan 27 Agustus 2009. Hasilnya, dalam hal akses lalu lintas, 89,76% responden menyatakan bahwa penerapan kebijakan telah mempersulit akses dan 10,24% menyatakan tidak. Kemudian, tentang penerapan karcis berbayar, 98,9% menyatakan tidak setuju, 0,6% menyatakan setuju, dan 0,6% abstain. Untuk kesan eksklusif UGM, 87,95% responden menilai UGM melakukan upaya untuk mengeksklusifkan diri, sementara 12,05% menyatakan tidak. Terakhir, untuk kebijakan satu pintu, 91,57% responden menyatakan tidak setuju dan 8,43% menyatakan setuju. Jajak pendapat ini menggambarkan sebagian besar mahasiswa menolak kebijakan yang diterapkan.
Akhirnya, pada tanggal 1 Maret 2011 kebijakan tarif masuk wilayah kampus UGM resmi dijalankan. Masyarakat umum dan mahasiswa yang belum memiliki KIK, untuk masuk ke wilayah kampus UGM wajib membayar sebesar Rp. 1000,- untuk pengendara sepeda motor; Rp. 2000,- untuk pengendara mobil; Rp. 3000,- untuk bis; dan Rp. 4000,- untuk truk. Kebijakan yang didasarkan pada RIPK 2005-2015 ini disinyalir mampu menertibkan lalu lintas kampus.Untuk jaminan keamanan, penertiban ini didukung dengan penjagaan di beberapa titik oleh SKKK (Satuan Keamanan dan Ketertiban Kampus). Akan tetapi, dari waktu ke waktu, apa benar mahasiswa merasa nyaman dengan adanya penertiban lalu lintas ini?
Menanggapi pertanyaan ini, Divisi Riset Balairung mengadakan polling terhitung mulai tanggal 10 sampai dengan 31 Maret 2011. Polling ini menggunakan metode non-probability sampling, yang berarti setiap orang berhak menjadikan dirinya responden. Dari seluruh responden yang mengikuti polling, semenjak diberlakukannya karcis berbayar, 47,42% menyatakan lalu lintas macet, 42,27% menyatakan tidak ada perubahan, dan 10,31% menyatakan lancar.
Hasil polling ini setidaknya menggambarkan bagaimana tanggapan responden terhadap penerapan karcis berbayar di wilayah UGM. Dengan suara mayoritas menyatakan bahwa karcis berbayar menyebabkan kemacetan, dapat ditarik kesimpulan bahwa mahasiswa merasa kurang nyaman. Dalam prakteknya, untuk masuk ke kampus sendiri mahasiswa harus berhenti, menerima karcis dan diperiksa oleh penjaga.
Penjagaan ini menyebabkan mahasiswa merasa asing dari UGM. Portal gate beserta satuan penjaganya seakan-akan menjadi bingkai yang menggambarkan eksklusivitas UGM. Bukankah ini menjadi sebuah ironi, mengingat keberadaan kampus yang seharusnya menjadi “rumah kedua” bagi mahasiswa sendiri? Lagipula, eksklusivitas yang ada itu untuk siapa?
Kemudian, sikap apatis pihak kampus terhadap berbagai penolakan juga perlu dipertanyakan. Demonstrasi-demonstrasi serta aksi penolakan yang pernah dilakukan oleh mahasiswa sepertinya tidak diperhatikan secara serius. Bukankah apa yang digunakan oleh kampus untuk melaksanakan kebijakan ini berasal dari mahasiswa juga? Apabila pihak kampus bersikap terbuka terhadap mahasiswa, mungkin kebijakan apapun yang diterapkan akan mendapat arah yang jelas. Akan tetapi, untuk saat ini bahkan uang hasil karcis berbayar pun belum ada yang tahu kemana perginya. Dengan ini, muncul pertanyaan baru dari penerapan KIK. Apakah KIK hanya menjadi kedok bagi keuntungan pihak tertentu? [Zaqi]
1 komentar
Mulai terjadi lagi kondisi seperti ini tahun ajaran baru ini. Baik di pintu dekat FKH maupun di pintu utama. Terjadi kemacetan parah kalau di atas jam 3 karena dipaksa untuk menunjukkan STNK maupun karcis.
SKKK(satuan kampus kurang kerjaan) tidak ada solusi sama sekali dan hanya mengandalkan kalimat “menjalankan tugas”.
UGM terlalu ingin mengeksklusifkan dirinya kembali padahal menyandang kalimat “kampus kerakyatan”.
Terjadi nyata saat anggota SKKK melewati portal tanpa ada pengecekan dan hanya mendapat cengar-cengir, sementara pengguna jalan lain akan mendapatkan tatapan yang tidak mengenakan, pemaksaan terhadap pengecekan STNK.
Kalau rakyat saja tidak boleh keluar masuk di UGM dengan bebas dan lancar apa gunanya menyebut diri “kampus kerakyatan” dan untuk apa adanya SKKK?
6/3/2019