Dalam era globalisasi dan industrialiasi saat ini, perusahaan sebagai sebuah korporasi dituntut untuk melakukan sistem kerja yang efektif dan efisien. Sistem kerja tersebut terkadang membuat perusahaan menjadi pragmatis dan terkadang mengandalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Dampak negatif yang merugikan perusahaan harus dihindari, diminimalkan, sebisa mungkin dicari solusinya. Selain itu, dampak positif juga harus dimaksimalkan dan diolah agar lebih bermanfaat lagi.
Tanggung jawab perusahaan kepada pihak-pihak eksternal inilah yang kemudian dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR). Menurut ISO 26000:2010, tanggung jawab sosial merupakan pertanggungjawaban oleh suatu organisasi atas dampak yang ditimbulkan dari kebijakan dan aktivitas di masyarakat atau lingkungan.
Menurut etika, CSR akan ditujukan untuk pembangunan berkelanjutan masyarakat, peningkatan kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Tujuan utamanya untuk memelihara hubungan yang baik dengan masyarakat.
Sayangnya, CSR terkadang tidak dilaksanakan dengan maksimal oleh perusahaan. Bahkan, seringkali perusahaan mengabaikan tanggung jawab sosial mereka kepada masyarakat. Walaupun CSR tidak tercantum dalam aturan perundang-undangan yang jelas, tetapi ada kode etik yang berlaku.
Kini, CSR menjadi sebuah kredo atau pedoman dalam dunia bisnis. Dalam tataran internasional, perusahaan yang memiliki perhatian terhadap CSR tergabung dalam WBCSD (World Business Council Sustainable Development). Badan Usaha Milik Negara maupun swasta yang berdiri di Indonesia tergabung dalam CFCD (Corporate Forum for Community Development).
Dalam pelaksanaannya, CSR menggunakan cost and benefit analysis. Sementara itu, program CSR sendiri menarik perhatian publik, khususnya investor. Mereka akan menilai perhatian perusahaan terhadap stakeholder perusahaan. Persepsi publik terhadap CSR ini akan membentuk korelasi positif. Publik akan menilai apakah perusahaan sudah bertindak etis atau belum. Dengan penilaian positif tersebut, baik konsumsi produk maupun peluang investasi baru akan meningkat.
Di Indonesia, beberapa perusahaan besar mengabaikan CSR sebagai tanggung jawab mereka kepada lingkungan, sebut saja PT Minarak Lapindo Jaya, PT Newmont, dan PT Freeport.
Khusus untuk PT Minarak Lapindo Jaya, kasus nyatanya terjadi dengan luapan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Perusahaan itu seolah-olah lepas tangan dan menyerahkan tanggung jawabnya kepada pemerintah. Lumpur panas sudah menggenangi kawasan tersebut hampir lima tahun lamanya. Tidak sedikit area yang menjadi korban, puluhan desa terendam lumpur panas, jalan tol terpaksa dibongkar, dan ribuan penduduk menjadi pengungsi. Sampai saat ini pun lumpur panas masih mengancam, bahkan diprediksi lumpur baru akan berhenti 31 tahun mendatang.
Perusahaan yang operasionalnya merugikan masyarakat dalam hal lingkungan wajib memberikan kompensasi kepada stakeholder. Risiko lingkungan berpengaruh terhadap kesehatan. Perusahaan yang membabat habis hutan wajib melakukan reboisasi dan penghijauan hutan. Perusahaan tambang wajib melakukan normalisasi lingkungan kembali dan tidak membuang limbah yang merugikan masyarakat.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tidak bisa lepas tangan. Pemerintah perlu membuat peraturan atau undang-undang yang mengatur CSR. Kemudian, pemerintah mengadvokasi masyarakat yang tertindas atau belum mendapatkan hak CSR-nya. Setidaknya, pemerintah melakukan pengawasan terhadap perusahaan. Pemerintah jangan pula tenggelam dalam buaian para konglomerat pemilik perusahaan.
Oleh: Chandra Agie Yudha – Mahasiswa Manajemen FEB 2009, Ketua II BEM FEB UGM