Senin (14/3), seminar mengenai demokrasi dan multikulturalisme diadakan di ruang Seminar Timur FISIPOL UGM. Seminar ini mendatangkan pembicara dari Perancis, Michel Wieviorka, profesor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales dan Presiden Internasional Sociological of Association (ISA) tahun 2010. Wieviorka merupakan salah satu profesor yang menekuni bidang sosiologi masyarakat, seperti kekerasan, rasisme, dan terorisme.
Seminar yang memiliki tagline âDemocracy and Cultural Diversityâ ini menitikberatkan pada bidang keilmuan yang diteliti Wieviorka yakni multikulturalisme. Wieviorka menjelaskan bahwa multikulturalisme menjunjung HAM dan memupuk kebersamaan bermasyarakat. Hal ini berkaitan dengan kehidupan global saat ini, yakni masyarakat tidak lagi bersifat unikultural.
Wieviorka memberi contoh kasus di Quebec, Kanada pada tahun 1960-an. Saat itu, terjadi perdebatan antara penduduk Quebec yang bersikukuh dengan bahasa Perancisnya dan penduduk daerah lain yang tetap memakai bahasa Inggris. Berawal dari konflik bahasa ini, pemerintah Kanada kemudian melakukan survei tentang jumlah pengguna bahasa Perancis dan Inggris di Kanada.
Permasalahan tentang bahasa meluas sebab ternyata dalam survei tersebut, etnis minoritas lain seperti suku Indian, juga ikut protes mengenai status spesial atau independensi. Pemberian status spesial seperti perijinan untuk mendirikan negara independen, merusak kesatuan negara. Akibatnya, suatu daerah akan lepas dari kekuasaan dan wilayah negara. Pada akhirnya, pemerintah menanamkan paham multikulturalisme agar konflik di Kanada surut. Kasus di Quebec, Kanada ini menjadi model ideal penerapan multikulturalisme.
Menurut Wieviorka, meskipun cocok diterapkan dalam masyarakat yang beragam, multikulturalisme juga menimbulkan masalah baru. Hal ini disebabkan sensitivitas penduduk asli terhadap pendatang sebagaimana protes suku Indian terhadap pemerintah Kanada yang notabene penduduk pendatang Inggris. Kedatangan para imigran dapat mengancam kehidupan penduduk asli sebab pada akhirnya imigran berkuasa di tanah penduduk asli. [Galih]