Senin (14/3) siang, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM menggelar acara bertajuk Bedah Novel Jatisaba: Dongeng Etnografis tentangTrafficking. Acara yang diadakan di Auditorium FIB ini menghadirkan sang penulis, Ramayda Akmal. Dalam kesempatan ini, turut hadir Prof. Dr. Heddy Shri-Ahimsa-Putra dan Dr. Aprinus Salam untuk berkomentar seputar novel tersebut.
Novel yang diangkat dari tanah kelahiran Ramayda itu mengupas tragedi kemanusiaan dan menghadirkan kembali kenangan sang penulis di dalamnya. Jatisaba adalah salah satu pemenang unggulan dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010, mengalahkan 270 peserta lainnya. Penulisnya merupakan jebolan Sastra Indonesia FIB UGM.
Dalam acara tersebut, Ramayda berterima kasih kepada segenap pihak yang telah membantunya, terutama kepada dua guru menulisnya. Kedua guru besar yang dimaksud, turut menyampaikan persepsi masing-masing mengenai Jatisaba dengan dua pendekatan berbeda. Heddy, dengan pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss, berpendapat bahwa novel tersebut memiliki struktur yang baik dalam setiap adegannya. “Orang yang tidak punya kacamata struktural mungkin tidak bisa melihat kedalaman novel ini. Yang paling kentara, ada tiga pola hubungan seks di dalam Jatisaba,” jelasnya. Pertama, tokoh utama diperkosa. Kedua, seks tanpa betul-betul sadar. Dan yang terakhir, berhubungan seks dengan orang yang paling dicintai sang tokoh utama. Jadi, ia melakukannya dengan sadar dan sangat menikmatinya.
Heddy juga melihat beragam penggunaan bahasa yang menggambarkan dengan baik strata sosial di daerah Jatisaba, sebuah wilayah di daerah Pantai Selatan Cilacap. “Novel ini sangat etnografis. Tidak hanya soal seks, tetapi novel ini juga mengedepankan tingkat kehidupan masyarakat di pedesaan,”pujinya.
Sementara Aprinus menggunakan pendekatan Bordieu untuk memberikan penilaian. “Novel ini adalah sebuah bentuk kegelisahan yang dapat menghadirkan permasalahan masyarakat di pedesaan dengan demikian apik,” tuturnya. Menurut Aprinus, Jatisaba bertema luas, mulai daritrafficking, TKI, Cinta, Glokalisasi (Global Lokal), hingga Etnografis.
Sebelumnya, Ramayda telah mengadakan serangkaian acara Bedah Novel Jatisaba di beberapa tempat, diantaranya yaitu di Universitas Mataram, di Lombok, dan di Komisi Perempuan Indonesia. “Dalam menafsirkan teks sastra, kita harus menunjukkan beraneka kemungkinan. Maka dari itu, kami menggunakan berbagai model pendekatan di setiap acara diskusi novel ini,” jelas Aprinus. Rencananya, bedah novel Jatisaba selanjutnya akan digelar di Universitas Airlangga dan di Semarang. [Michelle]