Belum tuntas masalah pengawet makanan kimia pada makanan kita, kini produk pertanian juga menawarkan kekhawatiran serupa.
Kondisi tingginya kandungan logam berat di pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta kini mengkhawatirkan banyak pihak. Bagaimana tidak, persebaran kandungan logam berat di lahan pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Angka ini bahkan melebihi ambang batas rata-rata yang telah ditentukan. Keberadaan logam berat tersebut berdampak negatif pada tanah, air, dan produk pertanian DIY. Selain itu, ancaman pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan telah di depan mata.
Hasil penelitian yang digawangi oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM bekerjasama dengan Badan Penelitian Pengembangan Pertanian menemukan bahwa pada hampir semua air, tanah, dan produk pertanian sampel yang diteliti telah tercemar logam berat. Tembaga (Cu), Arsen (As), Seng (Zn), Merkuri (Hg), Nikel (Ni), dan Timah (Pb) hanyalah sedikit dari jenis logam berat yang terkandung dalam sampel yang diteliti.
Analisis jumlah kandungan logam berat pada sampel air, tanah, dan produk pertanian dilakukan dengan alat AAS (Spektrofotometer Serapan Atom). AAS adalah alat yang digunakan pada metode analisis untuk penentuan unsur-unsur logam dan metaloid yang berdasarkan pada penyerapan absorbsi radiasi oleh atom bebas. Analisis laboratorium sendiri dilaksanakan di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (BALINGTAN) Pati.
Penelitian yang dilakukan selama enam bulan dan berlokasi di tiga sentra, yaitu sentra produksi padi di Kabupaten Kulon Progo, sentra bawang merah di Kabupaten Bantul, dan sentra melon di Kabupaten Sleman. Pada ketiga sentra usaha tersebut, ditetapkan enam petak lahan untuk mengetahui tingkat kontaminasi , dan polusi logam berat.
Hasil temuan tersebut sontak mengejutkan banyak pihak, utamanya konsumen produk pertanian. Dari tiga sampel sentra usaha yang diteliti, dua diantaranya, yaitu sentra bawang merah di Kabupaten Bantul dan melon di Kabupaten Sleman telah mencapai ambang kritis atau melebihi konsentrasi maksimum (BMR). Kadar residu logam berat dalam air antara 0,0001-11,1912 mL/L, dalam tanah 0,005-1506,60 mg/kg, dan pada produk pertanian 0,05-380 mg/kg. Kandungan logam berat dalam ketiga sampel tersebut telah melampaui batas maksimum rata-rata (BMR) yang diijinkan.
Masalah keamanan konsumsi kita pun kini dipertanyakan. Resiko kesehatan seperti kanker, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung kini jelas mengancam. Kadar kandungan logam berat pada produk pertanian berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Lebih lanjut, tercemarnya produk pertanian DIY dengan logam berat sebenarnya tidak terlepas dari kebiasaan para petani menggunakan bahan-bahan agrokimia yang berlebihan atau tidak sesuai dengan kadar yang diatur oleh pemerintah setempat.
Produk pertanian, khususnya bahan pangan misalnya padi, palawijaya, dan holtikultura memiliki dimensi ekonomi, sosial, politik sehingga peningkatan produktifitas pertanian dapat dicapai secara maksimal. Upaya peningkatan produksi pangan selama ini, terutama dilakukan melalui program intensifikasi dengan mengintroduksi varietas tanaman berdaya hasil tinggi disertai dengan penggunaan bahan agrokimia (pupuk dan pestisida) yang tinggi (Ardiwinata, 2007). Namun, sayangnya perilaku peningkatan produksi pertanian tidak diimbangi dengan perubahan mental tanggungjawab sehingga hanya memikirkan keberhasilan dalam jangka pendek. Tanah, selama ini ‘diperkosa’ sedemikian rupa untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Penelitian yang berjudul Status dan Pola Persebaran Logam Berat pada Lingkungan Pertanian di Propinsi DIY tahun 2009 menunjukkan penggunaan bahan-bahan agrokimia yang selalu meningkat setiap tahunnya. Pada kurun waktu 1970-1989, pemakaian pupuk urea (pupuk N) dari 200.000 ton bertambah menjadi 1.750.000 ton (Mariyono 2006). Pada 1999-2000, dengan pola serupa, penggunaan pestisida mencapai 2416 ton atau naik 112 persen dibandingkan 1984-1985, yaitu sebanyak 1.136 ton. Bahkan, berdasarkan data Kementrian Pertanian pada 2006, sebanyak 1.158 formula pestisida baru telah didaftarkan sebagai agen pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).
Untuk budidaya padi, ditemukan hampir separuh dari petani atau 73 persen memilih menggunakan pupuk anorganik dan 27 persen sisanya menggunakan pupuk organik. Pupuk anorganik jenis urea berada di peringkat pertama, yang disusul oleh phonska, dan fosfat. Untuk pemakaian pupuk organik, mayoritas petani menggunakan pupuk kandang dan disusul dengan pupuk kompos.
Pola usaha tani yang semacam ini tentulah harus diubah agar tidak berlanjut hingga merugikan para konsumen maupun petani itu sendiri. Selain berdampak negatif pada lingkungan, pemakaian zat agrokimia yang berlebihan juga menyebabkan terganggunyaedafon (keseluruhan kehidupan di dalam tanah) yang merupakan faktor penentu produktifitas tanah. Pada akhirnya, pemakaian zat agrokimia yang semula bertujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi pertanian malah berakibat pada menurunnya ‘performa’ tanah sebagai salah satu aspek utama dalam pertanian. Tidak hanya itu, pemakaian zat agrokimia juga bisa mempengaruhi kesehatan manusia melalui hewan ternak ataupun secara langsung melalui produk pertanian itu sendiri.
Beranjak dari permasalahan diatas, Eko Sugiharto dkk menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi permasalahan diatas. Penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) secara rasional dan bijaksana adalah salah satunya. Namun, usaha ini membutuhkan upaya monitoring dan pengelolaan serta kerjasama dari berbagai pihak, termasuk para petani dan dinas terkait. Untuk lahan yang telah tercemar, logam berat dapat dikelola dengan metode Fitoremediasi, yaitu dengan penanaman beberapa jenis tumbuhan yang dapat menyerap zat-zat pencemar, misalnya simbristylis, glodulosa (mendong), anastropos (paitan) dan sejenis kangkung-kangkungan. Tetapi, hal diatas mustahil diwujudkan tanpa kesadaran petani.
Tentu bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan apabila keberhasilan peningkatan produksi pangan selama ini ternyata mengorbankan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pengunaan agrokimia yang berlebihan menjadi salah satu tolak ukurnya. Kuantitas semata-mata dikejar tanpa mempertimbangkan kualitas bagi konsumen produk pertanian itu sendiri.[Amanda Kusuma Wardhani]