Cerita ini terus berlanjut bak sandiwara, tarik ulur pertambangan di Kulonprogo hingga kini tak kunjung menemukan benang merah. Pihak penguasa bersikeras, adanya pertambangan di pesisir selatan Kulonprogo mampu memperbaiki penghidupan warga. Disisi lain, masyarakat yang sebagian besar petani, tidak serta merta menerima usulan tersebut.
Persoalan ini menarik minat empat pemuda yang tergabung dalam Alexis Collective, sebuah kelompok solidaritas untuk petani Kulonprogo. Selasa petang (8/3) mereka mendatangi ruang sekretariat Persma Universitas Sanata Dharma (Natas) dan mengundang Balairung. Feri Sirait, salah satu pegiat Alexis Collective, mengawali diskusi dengan menceritakan kronologis pembukaan kembali pilot project di Desa Karangsewu oleh PT Jogja Magasa Iron (JMI) Senin (7/3) lalu.
Alumnus Filsafat UGM itu memaparkan, sebelumnya warga telah menutup pilot project itu sejak 14 Desember 2010 silam. Hal tersebut berbuntut pada pelaporan PT JMI atas perusakan aset perusahaan kepada Polda DIY pertengahan Februari lalu. Hingga kini, tiga warga desa Karangsewu masih diperiksa sebagai saksi di Polda DIY.
Demi meloloskan rencananya, kemarin PT JMI mendatangkan sekitar 700 personil polisi guna mengamankan pembukaan tersebut. Tak hanya itu, Feri menyebutkan pasukan polisi itu juga membawa mobil anti huru-hara, mobil tahanan, water canon, dan mobil anjing pelacak. âMereka memancing warga agar melawan dan melakukan kekerasanâ, jelasnya.
Selanjutnya, Muhammad Fandi, yang juga pegiat Alexis Collective, menambahkan, hingga Selasa pagi jumlah polisi di lokasi pilot project terus bertambah. Diperkirakan polisi yang berada di lokasi pilot project mencapai ribuan. Ke depan, bersama teman-temannya, mahasiswa pascasarjana Antropologi UGM ini berupaya menghimpun data-data kajian multi interdisipler mengenai proyek penambangan pasir besi.
Hal ini merupakan usaha membuat data tandingan yang mendukung penambangan. Misalnya, Fandi dan teman-temannya kini mengaji aspek hukum proyek penambangan. Mulai dari keabsahan penandatangan kontrak karya pada 2008 silam, hingga kontroversi klaim tanah sepihak oleh Paku Alaman.
Perhitungan dampak sosial juga tak luput dari analisis mereka, dan banyak lagi pertimbangan-pertimbangan lainnya. âSaat ini media cetak dan elektronik cenderung menyajikan informasi yang tidak berpihak pada warga,â imbuh pemuda yang akrab disapa Ojud tersebut.
Konflik antara petani pesisir selatan Kulonprogo dengan PT JMI bermula sejak 2006 silam. Pemerintah yang mestinya menampung aspirasi warga, justru berpihak pada korporasi. Hal ini dapat dilihat dari dukungan Pemprov kepada Pemda dengan merevisi Perda Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Nomor 1 tahun 2003.
Perlu diketahui pula 30% saham PT JMI dimiliki oleh PT Jogja Magasa Mining. Sisanya milik sebuah perusahaan asal Australia, Indo Mines Ltd. Hingga kini, warga yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) tetap menolak proyek pertambangan tersebut.[Anwar Kh]