Puluhan orang telah berkumpul, siap menyaksikan. Penabuh gamelan mengambil ancang-ancang. Penerangan pun dipadamkan, hanya empat lampu sorot dibiarkan memantulkan cahaya kekuningan. Tak berapa lama kemudian, empat orang bidadari muncul beriringan dengan alunan gamelan yang mulai dimainkan. Riuh tepuk tangan penonton serta merta mengalir deras tanpa komandan. āSari Sumekarā dipersembahkan sebagai tarian pembuka perayaan ulang tahun Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Jawa Gaya Yogyakarta Universitas Gajah Mada (UKM Swagayugama)Ā yang ke-43 pada Sabtu malam (26/03). Berbalut pakaian khas putri jawa yang merah muda lengkap dengan mahkotanya, keempat penari mulai mengambil posisi. Mereka mengisi sudut segi empat dengan jarak yang tak terlalu dekat. Keempat penari mulai menari sesuai koreografi yang tertata rapi dan sudah terlatih. Langkah kaki, gerak tangan, dan sikap tubuh yang gemulai menimbulkan kesan ayu, seolah berpadu dengan lantunan gamelan yang terdengar lembut mendayu. Tempo gerakan mulai berkurang seiring dengan tabuhan gamelan.Ā Masing-masing penari mulai merapat, menyatu dalam barisan. Mereka memberi salam tanda perpisahan, mengambil langkah perlahan, lalu lenyap dari pandangan. Lampu masih padam. Suara gamelan ditangguhkan. Sunyi, senyap sementara. Tak berapa lama, seorang prajurit berbalut pakaian perang berwarna merah lengkap dengan mahkota keemasan melangkahkan kaki dengan berdegap.Ā Kelugasan dan kegagahan dari tari ini terlahir dari tiga struktur koreografi: Gilak, Bapang, dan GilakĀ dengan perbendaharaan yang kompleks. Berbagai nilai luhur kepribadian tersembunyi dibalik tiap-tiap gerakan. Liuk jemari tangan, langkah kaki, sikap badan, sampai tatapan mata mengandung filosofi tersendiri. Tatapan mata yang tajam melambangkan keberanian. Gerak-gerik tubuh yang dinamis dan lugas mewakili kematangan jiwa dan keperkasaan. āTari Baris Tunggalā yang gagah itu pun menambah decak kagum penonton. Tarian tradisional yang diiringi alunan gamelan memunculkan nuansa klasik, mistik, namun eksotik. Lantunan musik klasik ala orkestra danĀ paduan suara menambah keindahan suasana. āMinuetā dan āCanon In The Mayorā memberikan kesan klasik khas Eropa. Keduanya terdengar merdu dari gesekan senar biola dan cello, persembahan dari UKM Gajah Mada Chamber Orchestra. Segenap eksotisme budaya klasik dikemas dalam tema āGelar Seni Klasikā yang menjadi pilihan untuk Ambal Warsa Swagayugama tahun ini. āTema ini diharapkan dapat menarik minat khalayak, khususnya mahasiswa UGM terhadap budaya klasik,ā tutur Uswatun Hasana, mahasiswa MKP angkatan 2008. Menurut Ketua UKM Swagayugama tersebut, acara ini diharapkan dapat menunjukkan eksistensi budaya klasik yang saat ini sudah kurang diminati dan turun pamornya. Swagayugama sengaja mengajak berbagai UKM yang bergerak di bidang seni untuk ikut menyemarakkan acara. Mulai dari UKM Gajah Mada Chamber Orchestra, Tari Bali, Unit Kesenian Jawa Gaya Solo, hingga Paduan Suara Mahasiswa, turut ambil bagian dalam acara yang bertempat di Hall Gelanggang Mahasiswa UGM ini. āKami berharap momen perayaan ini sekaligus bisa merekatkan hubungan antar-UKM yang bergerak di bidang kesenian,ā jelas Uswatun Hasana. Pertunjukan telah berjalan lebih dari dua jam. Langit sudah menghitam. āBeksan Golek Menakā pun disuguhkan sebagai penutup pertunjukan. Dewi Widaningsih datangĀ ke kerajaan Kaelani untuk menuntut balas atas kematian kakaknya. Dewi Rengganis menghadapinya tanpa gentar. Lengkap dengan keris, mereka memulai pertarungan. Gerak tangan yang lincah memainkan keris dipertunjukkan. Dewi Widaningsih pun rubuh terhujam keris Dewi Rengganis, tanda perunjukan usai.Ā [Ibnu]