Jumat (25/2) malam, Gelanggang Mahasiswa UGM tampak begitu ramai. Suara hujan tak lagi terdengar, hanya alunan ungkapan kata-kata indah. Orang-orang yang ingin menonton pementasan menunggu sambil menikmati penataan panggung yang minimalis. Perpaduan warna putih dan merah dengan warna dasar hitam mengisi panggung Teater Gadjah Mada (TGM). Penonton duduk beralaskan tikar ditemani sajian segelas teh panas dan kacang. Lampu mulai meredup dan acara bertema âUngkapkan dengan Teaterâ pun dimulai. Lontaran kata-kata dibuka oleh angkatan baru TGM. Mereka saling menyambung kata, mendendangkan nada, dan dipadu pula dengan gerakan ritmis. Puisi âArmada Terbunuhnya Atmokarpoâ terdengar begitu istimewa. Dengan suara berat dan lantang laiknya berorasi Irma, tamu dari Jakarta, membuat penonton membisu. Pakaiannya yang serba hitam menciptakan suasana berduka yang mendalam. Tak melulu ungkapan rasa melalui kata, gerakan-gerakan indah pun dipertontonkan. Seperti  orang yang sedang trans, seorang pemuda berkacamata bergerak mengikuti irama lagu. Ia meloncat ke sana ke mari, salto berulang kali. Tanpa kata, ia ingin mengungkapkan karsa. Tak mau kalah, ketiga anak TGM lain berlaga dalam kepala tertutup kotak kardus. Melalui tarian, mereka seolah merefleksikan raut wajah yang terlukis di kotak kardus. Di tengah tarian, seorang perempuan mulai melepas kotak kardus dari kepala, meletakkan di sebelahnya dan mengajaknya berbicara. Di sisi panggung yang lain, kedua teman lelakinya bergerak ritmis mengikuti nada. Ketika si perempuan selesai bercerita, salah satu lelaki membuka tutup kepalanya. Ia memperagakan kata-kata dengan jenaka sehingga membuat penonton tertawa geli melihatnya. Tawa masih membahana kala pemuda terakhir menggerakkan tubuh layaknya anggota boyband SMASH. Gerakan ala SMASH digantikan oleh nyanyian akustik dari anak Fakultas Ilmu Budaya. Penonton yang daritadi duduk juga tak mau kalah. Mereka ingin mengungkapkan rasa. Dua penonton membacakan puisi-puisinya. âKutangkap senyummu, ku-photocopy dan ku-laminating untuk dipasang di dompetku,â ungkap seorang penonton untuk temannya. Tak hanya puisi berbahasa Indonesia yang dibacakan, puisi bahasa Arab juga mewarnai pementasan malam itu. Anak Sastra Arab UGM membacakan dengan fasih puisinya. Ia membaca setiap kata dengan penuh penghayatan seakan ingin mengungkapkan maknanya. Penampilan dari Yuniawang Setiadi turut menghanyutkan penonton dalam gelak tawa. Ia membacakan pusi sembari memainkan gitarnya. Suasana canda berganti menjadi romansa ketika puisi Sapardi Djoko Damono dibacakan pun dinyayikan. Dengan petikan gitar akustik, puisi ini menyihir penonton untuk masuk ke dunia cinta. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: Dengan kata yang tak sempat diucapkan Kayu kepada api yang menjadikanya abu Aku ingin mecintaimu dengan sederhana: Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Romo Heru, pendiri TGM, ikut mengungkapkan perasaannya dengan membacakan cerita pendek. Sesuai dengan tema, pementasan yang disuguhkan memang ungkapan rasa dari penyajinya. Mereka boleh beraksi sebebas-bebasnya. Melalui teater, mereka berpuisi, menari, dan bernyanyi. Ungkapan rasa tak hanya milik seniman teater, semua manusia berhak menyatakannya. Lewat kata-kata indah, alunan nada, gerak berirama boleh saja dituangkan tanpa ada beban pikiran. Pementasan tak lagi menjadi sajian pemuas penonton belaka. Mereka mengungkap beribu makna dalam satu panggung sederhana. Untaian kata yang memperkenalkan rasa dan karsa manusia bergulir apa adanya. Tak ada keistimewaan untuk mereka yang menyajikan kemewahan. Tak ada hinaan bagi penonton yang awam dalam menyampaikan rangkaian katanya. Malam itu semua melebur dalam kesatuan perasaan, ingin mengungkapkan. Tertawa oleh kekonyolan tingkah-tingkah yang ada, terhanyut oleh cinta dan perihnya luka. Pertunjukkan pun usai ketika tak ada lagi asa dalam kata yang ingin diungkapkan manusia.[Abud]