Botol air mineral, potongan koran, tali plastik, sapu, mainan, hingga tenggok, berserakan tak beraturan di atas lantai. Di tengah, seorang pria berjongkok, bergeming. Memamerkan punggung sementara dirinya tak bergerak, memandangi latar hitam dihadapannya. Berkas cahaya dari lampu yang perlahan menimpa tubuh memicunya, ia bergerak.
Mula-mula leher ia lemaskan lalu lengan. Beberapa waktu berlalu ia berdiri dan berjingkat. Suara gemeretak muncul kala langkah terbatanya jatuh di atas botol-botol air mineral yang penyok. Menggumamkan beberapa kata sebentar, lalu mengambil sapu. Dengan gerakan yang ritmis ia sapu sampah dihadapannya, dari sapuan lembut hingga sapuan ala gerakan kungfu. Kepingan sampah berpindah ke pinggir ruangan, menciptakan ruang tengah yang kosong, dari sampah.
Bukanlah petugas kebersihan, juga bukan pendekar silat melainkan Ari Larinka yang melakukan itu semua. Penari asal Jakarta itu memukau puluhan pengunjung yang datang di Kedai Kebun Forum, 24 Februari lalu. Tarian “Jejak Sampah” miliknya menjadi pembuka acaraTembang Pesisir & Tari “Jejak Sampah” malam itu. Murid Slamet Gundono ini membuat mata penonton tak bisa lepas dari gerakan nonstopnya.
Pertunjukkan dimulai dengan gerak Ari yang lembut dan patah-patah. Berjingkat di atas botol plastik, berlaku silat layaknya Jet Lee, bersimpuh, semua dilakukan Ari tanpa henti. Gerakannya tetap gemulai hingga ia berhenti sejenak dan berbisik memberi tahu, “Aku menemukan teh cap orang nyapu.”
Sapu yang tadinya teronggok di lantai ia ambil, digunakan sebagai perangkat tari. Dengan sapu di tangan frase geraknya berubah, lebih ritmis. Kadang lembut melambai, kadang tegas menghentak. Kumpulan sampah dihadapannya ia sapu menyingkir ke pinggir, menciptakan lingkaran batas. Batas yang bukan pemisah melainkan batas identitas. Memproyeksikan perilaku masyarakat terhadap sampah. Label bersih berarti tak ada sampah di halaman rumah sendiri. Sebuah proses yang menutupi realitas sebenarnya; sampah tidak mendadak hilang, hanya berpindah.
Proyeksi berlanjut saat Ari mulai menyapu dirinya sendiri. Seluruh tubuhnya ia sapu memakai sapu lidi. Mulai muka hingga kaki, pun alat vitalnya sendiri. Rampung dengan sapu, ia beralih ke tenggok. Wadah sampah dari anyaman bambu itu ia pakai sebagai topi. Seluruh kepala tertutup, buta lingkungan sekitar. Seolah mengilustrasikan cara orang memandang sampah; banyak ilusi yang mengelabuhi indera. Membeli salah satu contohnya.
Kebanyakan orang terjebak ilusi saat membeli. Mereka memilih berdasarkan apa yang mereka lihat bukan pikirkan. Kebiasaan menjadi titik tolak menentukan bukan pertimbangan. Orang membeli berdasarkan apa yang mereka lihat sehari-hari pun iklan di televisi. Loyalitas terhadap merek lah yang akhirnya menjadi saklar konsumsi. Kesadaran tentang efek barang yang dibeli pun lebur dalam intuisi. Seperti Ari yang kepalanya tertutup tenggok, manusia tak sadar akan alarmnya sendiri. Bahaya adalah harimau di depan mata yang siap menerkam, bukan kanker ataupun bakteri. “Jejak Sampah” seolah merefleksikan perilaku orang yang masih abai akan krisis ekologi.
Gerak tari berlanjut ketika tenggok sudah dilepas. Gerakan mendadak Ari merangkak dan berteriak ke arah penonton, saat tenggok dilepas, membuat mereka sedikit terperanjat. Frase-frase gerakan Ari berubah gemulai kala ia mulai memainkan mainan serupa tank. Ini semakin menjadi-jadi saat musik berirama Keong Racun mengalun. Saat lagu usai giliran lantunan kata-kata: rokok, cap kerbau, Marimas, Super Power, bunga, lampu, Buavita keluar dari mulut Ari. Kata-kata itu diucapkan secara acak berulang oleh Ari bagai mantra sebelum menutup tarian. “Jejak Sampah” ditutup Ari dengan gerakan menyapu dan memasukkan sampah ke dalam tenggok.
“Jejak Sampah” seolah menjadi alat penyampai simbol dari budaya konsumsi masyarakat dan kaitannya dengan sampah. Frase gerakan penutup Ari menegaskannya. Gerakan memunguti sampah seolah pemulung merefleksikan salah satu ciri sampah. Yakni, lingkungan tidak pernah menghasilkan sampah karena sampah dari satu spesies menjadi makanan bagi spesies lain. Menegaskan bahwa labelisasi suatu objek sebagai sampah itu tergantung subjek yang memandangnya. Seperti Ari, memandang sampah sebagai inspirasi hingga menghasilkan sebuah tarian kreatif yang berisi. [Ape]