Jujur saja, saya punya pengalaman buruk dengan istilah “mahasiswa tua”. Ceritanya begini, saat mengikuti kelas les bahasa perancis, seorang teman sekelas menanyakan hal sensitif: “Sampeyan angkatan berapa toh?” Saya pun menjawab dengan lugunya bahwa saya angkatan 2007. Dari sini percakapan yang sebelumnya penuh sopan santun pun berubah. Wajahnya tiba-tiba tertekuk-tekuk seolah keracunan sayur asem basi. “DUA RIBU TUJUH!!??!” katanya dengan ekspresi wajah kaget. Sejurus kemudian ia pun memulai kasak-kusuk dengan teman sebelahnya. “Kirain dia mahasiswa dua ribu berapa, ternyata mahasiswa tua!” kata teman yang ia ajak kasak-kusuk, disusul cekikikan yang menyayat hati. Dada jadi sesak oleh perasaan dongkol. Rasanya seperti tertimpa batuan lahar dingin sebesar gerobak roti bakar.
Sepulang les, saya mencoba menghibur diri. Saat menghibur diri itulah saya menyadari adanya kerancuan dalam istilah “mahasiswa tua”. Kerancuan ini muncul dari pertanyaan yang mengganggu benak saya: kemana kata “tua” dalam istilah “mahasiswa tua” mengacu? Logika istilah “mahasiswa tua” sebenarnya sederhana saja. Istilah ini kerap disematkan pada mahasiswa di tahun keempat atau lebih. Karena rata-rata mahasiswa sekarang ini lulus di tahun keempat, maka mahasiswa di tahun keempat disebut “tua”.
Padahal beberapa arti “tua” dalam KBBI tidak cocok dengan logika istilah “mahasiswa tua”. Arti “sudah lama hidup” atau “lanjut usia” misalnya, hanya relevan pada kasus yang amat jarang. Semisalnya “lanjut usia” itu diukur dari usia produktif, kebanyakan mahasiswa strata satu justru masih berada di gerbang usia produktif, yaitu 20-25 tahun. Ada berapa sih mahasiswa strata satu yang berusia lanjut, atau lebih dari 60 tahun?
Kata “tua” dalam istilah “mahasiswa tua” barangkali menemukan relevansinya dalam logika perbandingan. Mahasiswa yang sudah lama berkuliah disebut “tua” jika dibandingkan dengan mahasiswa baru yang usianya lebih muda. Namun logika istilah ini tidak relevan dalam kasus tertentu. Semisal ada mahasiswa yang pada sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas ikut program akselerasi, sehingga ia memulai kuliah lebih cepat dua tahun, apakah ia tetap disebut “tua” di tahun keempat? Jika pada umumnya mahasiswa memulai kuliah pada usia 18 tahun, si akselerasi memulai pada usia 16 tahun. Jika mahasiswa pada umumnya berusia 21 tahun pada tahun keempat, si akselerasi baru berusia 19 tahun di tahun keempat. Tetapi si akselerasi akan tetap disebut “tua” jika pada tahun 2011 ia menyebut diri angkatan 2007. Padahal usianya hanya terpaut satu tahun diatas mahasiswa baru yang disebut “muda”, usianya sama dengan mahasiswa pada umumnya di tahun kedua yang belum disebut “mahasiswa tua”, dan bahkan lebih muda dari mahasiswa pada umumnya di tahun ketiga. Inilah salah satu kasus yang menunjukkan titik rancu dalam istilah “mahasiswa tua”.
Salah satu arti “tua” lain dalam KBBI memang lebih cocok untuk istilah “mahasiswa tua”. Yaitu “sudah lama” sebagai “lawan dari baru”. Inkonsistensi semantik lebih minim terjadi jika “mahasiswa tua” diartikan “mahasiswa yang sudah lama kuliah” ketimbang “mahasiswa yang sudah lanjut usia”. Namun digesernya arti saja tidak cukup. Saya agak tidak rela membiarkan penggunaan istilah ini menyebabkan terciptanya monopoli atas kebenaran, baik kebenaran bahasa maupun kebenaran tertib kuliah. Apalagi kata “tua” dan “muda” memiliki berbagai khazanah yang tak sesederhana dalam pengunaannya sehari-hari. “Tua” dan “muda” bukan hanya terkait pada usia dan waktu, melainkan juga berbagai konteks lainnya.
Menurut Maurice Merleau-Ponty, ruang dapat dibedakan jadi dua: ruang geometris dan ruang antropologis. Jika ruang geometris itu sifatnya dapat diukur secara obyektif dan universal, ruang antropologis berpangkal pada persepsi tubuh manusia. Ukuran dalam ruang antropologis didasarkan pada pengalaman individu. Begitu juga dengan waktu, ada waktu geometris dan waktu antropologis. Waktu geometris dapat diukur sebagai sebuah garis lurus yang saklek, dapat dinyatakan dalam jam, hari, bulan, tahun, dan sebagainya. Sedangkan waktu antropologis dihitung berdasarkan pengalaman individu yang hadir dalam waktu, atau bagaimana individu-individu mengalami ke-sekarang-annya masing-masing.
Pemahaman waktu secara antropologis dapat kita lihat dari pembedaan “tua” dan “muda” dalam novelAnak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam novel tersebut, Minke, si tokoh utama, dikisahkan bertemu dengan Khouw Ah Soe, anggota Angkatan Muda Tiongkok yang antikekaisaran. Khouw dalam percakapan dengan Minke mengatakan dengan berapi-api, “Kami, Angkatan Muda Tiongkok, dengan segenap kepercayaan di hati sebagai kekuatan yang menggerakkan, bangkit sebagai pemutar baling-baling sejarah masa depan.” Selain menempatkan diri sebagai kaum muda, Khouw menunjukkan permusuhannya terhadap kekaisaran yang ia sebut kalangan tua. “Sebab percuma kalau toh harus diperintah kalangan tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut serta jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan,” tegas Khouw. Pernyataan Khouw tentang yang muda dan yang tua, serta bagaimana ia membenturkan keduanya, memperlihatkan bahwa tua dan muda bukan saja tentang usia. “Tua” dan “muda” dalam pandangan Khouw merupakan kategori yang menandakan perbedaan sikap dan cara pandang terhadap dunia. Usia muda menjadi sia-sia bagi Khouw jika sikap dan cara pandangnya sama seperti kaum tua yang korup tapi berkuasa. Pernyataan Khouw ini menujukkan betapa bagaimanan ke-sekarang-an dialami merupakan faktor yang membedakan mana yang tua dan mana yang muda. Betapa tua dan muda itu politis!
Sisi politis dari “tua” dan “muda” juga dapat kita jumpai di berbagai peristiwa sejarah. Peristiwa Rengasdengklok misalnya, terjadi karena perbedaan sikap dan cara pandang kaum nasionalis muda dengan nasionalis tua Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan. Kaum muda seperti Chairul Saleh, Wikana, dan Sukarni ingin kemerdekaan segera diproklamasikan, sedang kaum tua yang diwakili Soekarno dan Hatta lebih memilih untuk menunggu aba-aba dari Jepang. Sikap kaum tua ini membuat kaum muda jengah, mereka pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945 untuk memaksa keduannya segera membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hasilnya, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.Berbagai peristiwa sejarah seperti kebangkitan Tiongkok dan peristiwa Rengasdengklok telah menunjukkan bahwa kaum muda bukan hanya “muda” usianya, tetapi juga “muda” dalam sikap dan cara pandang.
Mari kita kembali lagi ke istilah “mahasiswa tua”. Jika ada istilah “mahasiswa tua” tentu seharusnya juga ada “mahasiswa muda”. Nah, para “mahasiswa muda” ini ternyata banyak yang sikap dan pikirannya “tua”. Tidak revolusioner seperti banyak kaum muda dalam peristiwa sejarah. Kebanyakan “mahasiswa muda” malah cenderung konservatif dan oportunis.Entahlah, barangkali saya terlalu terbawa kedongkolan saya sendiri. Atau bahkan kedongkolan saya bisa jadi tak beralasan. Karena “tua” tak selalu bermakna negatif seperti korup, bodoh, konservatif, dan lain-lain. “Tua” dalam KBBI juga bermakna “pemimpin” dan “berpengetahuan”. Barangkali ketika mereka menyebut saya “mahasiswa tua” berarti “mahasiswa yang punya karakter pemimpin” atau “mahasiswa yang berpengetahuan”. Amin. [Azhar]