Aturan agama tak berarti apa-apa tanpa campur tangan pemeluknya
Selasa (22/2), Pusat Studi Pancasila UGM bekerja sama dengan SIT, Study Abroad Bali mengadakan diskusi lintas agama.“Harmonisasi Kehidupan Beragama di Indonesia” menjadi tema utama diskusi tersebut. Enam isu atas landasan agama dijadikan pemicu diskusi: moral, sektarian, komunal, terorisme, political region, dan mistik. Tujuh belas peserta program Spring 2011 dari Amerika Serikat diundang sebagai tamu utama. “Tujuannya memang untuk memberikan pandangan lain tentang keberagaman agama di Indonesia,” tutur Diasma Sandi Swandaru selaku ketua panitia.
Sayang, dari enam komunitas atau pun Unit Kegiatan Mahasiswa yang diundang sebagai presentator, hanya empat yang hadir: Katolik diwakili Tata dan Josephine, Nasrani diwakili Risang Hanggono, Buddha diwakili Anthony, dan Islam diwakili Any Sundari. Meskipun demikian, keempat penyaji bisa menggambarkan harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia. Perwakilan Katolik misalnya, memaparkan harmoni antaragama dengan mengadakan kunjungan dan diskusi di pesantren.
Pemaparan masing-masing presentator sebagai pemacu diskusi mendapat tanggapan antusias. Diskusi yang berlangsung pun tak sekadar mengenai harmonisasi itu sendiri. Perdebatan antara Tuhan, Agama, dan keberadaan Negara malah menjadi topik yang banyak diminati. Tom, peserta diskusi asal Amerika menyampaikan gagasan mengenai perbedaan agama dan spiritualitas. Sedangkan Risang mengulang kembali apa yang sudah dikatakannya pada akhir presentasi, bahwa agama bukan sekadar kebutuhan, tapi juga aturan yang harus dipatuhi dalam menjalankan kebutuhan.
Sampai akhir diskusi, tidak ada kesepakatan bersama yang didapatkan. Waktu dua jam dirasa kurang cukup untuk mendiskusikan hal besar yang sesensitif itu. Pembicaraan terus dilanjutkan meski secara resmi ditutup. “Bukankah diskusi tadi menjadi awal dari obrolan panjang mengenai keberadaan agama di tengah kehidupan kita?,” pungkas moderator menutup acara.(Fitria)