Senin (28/02) siang, Gerakan Tolak Komersialisasi Kampus (GERTAK) menyelenggarakan diskusi publik yang bertajuk “Parkir Berbayar dan Komersialisasi Kampus di UGM”. Dalam diskusi yang berlangsung sekitar dua jam di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM itu, terdapat empat orang pembicara yaitu Eko Prasetyo (direktur Pusham UII), Miftah Adi Susanto (dosen UGM), Natalia Kristyanto (LBH Yogyakarta), dan Wisnu Prasetya Utomo (mahasiswa UGM).
Sebagai perwakilan mahasiswa yang menolak Kartu Identitas Kendaraan (KIK), Wisnu memaparkan kronologis kebijakan kontroversial ini. Penuturan selengkapnya dapat dibaca dihttps://www.balairungpress.com/2010/07/upaya-melawan-lupa-tolak-kebijakan-kartu-identitas-kendaraan-di-ugm-share/ “Tidak ada korelasi antara tarif parkir berbayar dan keamanan kampus. Bahkan pada Desember tahun lalu, ada kasus pembacokan yang terjadi di UGM pasca pemberlakukan KIK,” tutur perwakilan GERTAK ini. (baca:https://www.balairungpress.com/2010/12/mahasiswa-diserang-perampok-bersenjata-tajam-di-kampus/)
Terkait pemberlakuan KIK, Natal mencoba bersikap skeptis terhadap arah aliran dana. “Pemasukan sekitar delapan juta per hari tentu berpotensi menimbulkan penyelewengan dana,” tegas alumnus Fakultas Hukum UGM ini. Menurutnya, kebijakan kampus harus memuat unsur-unsur nirlaba, akuntabilitas, dan transparansi.
Miftah menyorot fakta bahwa UGM adalah ruang publik yang bebas diakses tanpa pungutan biaya. Pendapat itu diperkuat oleh Eko Prasetyo, “Apakah warga harus membayar jika ingin sholat di masjid kampus atau berolahraga di sekitar GSP?”. Eko prihatin dengan sikap mahasiswa yang acuh tak acuh terhadap berbagai kebijakan kampus. “Rektorat tahu sasaran kebijakannya. Bagi mahasiswa UGM, membayar seribu rupiah tentu tidak masalah, daripada berurusan panjang,” keluhnya. Menurutnya, mahasiswa harus melawan segala bentuk komersialisasi kampus karena itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap pendidikan.
Sulistio Mardiatmo, direktorat pengelolaan dan pengembangan aset UGM, yang dihubungi Balairung seusai memantau jalannya diskusi, mengeluhkan pernyataan dari keempat pembicara yang tidak satu pun pro kebijakan kampus. Perbedaan pendapat dan data yang diperoleh dianggapnya sebagai hal biasa. “Mau bagaimana lagi, begitulah respons wajar dari sebuah proses pembelajaran,” ujarnya.
Pada akhir diskusi, keempat pembicara sepakat dengan tuntutan GERTAK untuk mencabut kebijakan KIK yang didasarkan pada Surat Keputusan Rektor No 408 tahun 2010. Tarif seribu rupiah untuk sepeda motor dan dua ribu rupiah untuk mobil yang tidak bisa menunjukkan KIK rencananya akan mulai diberlakukan per 1 Maret 2011. “Besok (hari ini, red) kami mengajak rekan-rekan untuk ikut serta dalam aksi tolak KIK,” pungkas Wisnu.
[Ay, Rista]