Dalam rangka mewujudkan kawasan kampus educopolis, UGM mengeluarkan isi kocek hingga 400 juta rupiah untuk membangun depo sampah, atau tempat penampungan sampah sementara, yang disebar di 13 titik. Ke-13 titik tersebut antara lain sektor Grafika, Sains, Agro, Fauna, Sekip, Sosio, Pusat, Pasca, Medika, Wisma MM, Gelanggang, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri. “Meski penyelesaiannya sempat mengalami keterlambatan akibat erupsi Merapi, sesuai rencana, depo sampah akan mulai beroperasi pada 2011,” ujar Sutrisno S. Sos, koordinator Satuan Kebersihan dan Keamanan (SKP) Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) UGM.
Di kalangan mahasiswa sendiri, banyak yang mengira bahwa pembangunan depo sampah merupakan pembangunan shelter bus kampus. “Saya tidak tahu bahwa itu adalah pembangunan depo sampah. Saya pikir, shelter bus kampus karena bentuknya yang demikian,” komentar Heriyanti, mahasiswa Administrasi Negara angkatan 2008. Hal senada juga dilontarkan oleh Agung Satriyo Nugroho, Presiden Mahasiswa BEM KM Fakultas Geografi 2010. “Saya sempat adakan jajak pendapat bersama rekan-rekan di sini (Fakultas Geografi–red). Kami beranggapan itu adalah shelter bus kampus dan tulisan recycle, reuse, reduce di bangunan hijau tersebut semata merupakan slogan kampanye cinta lingkungan.”
Terkait banyaknya dugaan bahwa bangunan besi hijau berpori itu adalah shelter bus kampus, Sutrisno tersenyum mengklarifikasi, “Tidak benar itu shelter bus kampus. Bangunannya dibuat demikian sebagai kamuflase agar sampah tidak terlihat seperti sampah yang menjijikkan, nampak bersih dan indah dipandang.”
Simpang siur pemberitaan pembangunan depo sampah barangkali merupakan akibat dari kurangnya sosialisasi dari pihak Rektorat. Lebih lanjut Agung berujar, “Sampai saat ini belum ada sosialisasi.” Ia juga menambahkan bahwa sosialisasi akan lebih baik bila dilakukan secara merata kepada seluruh civitas academica agar merangsang partisipasi yang terpadu dan lebih luas lagi terkait kebijakan depo sampah ini.
Namun, seiring dengan tuntasnya pembangunan depo sampah, pertanyaan tentang nasib tempat sampah terpilah berwarna oranye, biru, dan hijau yang ada di UGM pun muncul. Apa yang akan dilakukan terkait tempat sampah terpilah tersebut? “Di dalam depo sendiri sudah ada tempat pemilahan sesuai jenis sampahnya. Tempat sampah biasa, seperti yang ada di kampus-kampus, akan tetap dipertahankan. Sedangkan, tempat sampah terpilah yang sudah ada sebelumnya akan dicabut,” terang Sutrisno.
Terkait pernyataan Sutrisno tersebut, Agung menanggapi, “Bukankah tempat sampah terpilah dapat mempermudah kerja para petugas sampah dalam menyortir sampah ke dalam depo sampah?” Ia menambahkan bahwa fungsi depo sampah akan menjadi kurang efektif apabila tempat sampah terpilah yang sudah ada sebelumnya dihapuskan.
Terlepas dari permasalahan efektivitas, pembangunan depo sampah merupakan wujud usaha kampus kerakyatan membantu pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam menangani permasalahan sampah. Kontrak Piyungan sebagai Tempat Penampungan Akhir (TPA) sampah-sampah di Kota Gudeg dan sekitarnya selama ini akan berakhir pada 2012. Artinya, pemerintah DIY memiliki tanggung jawab untuk mencari lokasi baru TPA sampah. Tidak hanya pemerintah, kondisi tersebut juga menjadi cambuk bagi seluruh masyarakat Yogyakarta untuk dapat mengelola atau mendaur ulang sampahnya secara mandiri. [Bebeth]