Banyak analisis yang mengatakan bahwa “negara absen” dalam bencana alam yang menimpa rakyat Indonesia secara beruntun.“Absennya” negara ini seringkali dilihat dari lambatnya bantuan yang diberikan kepada korban. Selain itu juga dari minimnya pernyataan pemerintah menyangkut kondisi korban atau bahkan pernyataan yang kontradiktif. Setidaknya ini bisa kita baca dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh pemerintah sebagai salah satu elemen dari negara. Menanggapi serangkaian bencana yang terjadi dalam waktu yang beruntun, para pejabat di tanah air mengeluarkan pernyataan yang hampir seragam.
Di Wasior, Presiden SBY mengatakan bencana terjadi karena curah hujan yang sangat tinggi. Pernyataan senada diucapkan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo ketika menanggapi banjir yang terjadi di Jakarta. Di Mentawai, Ketua DPR RI Marzuki Alie malah menyalahkan warga yang tinggal di tepi pantai. Dia mengatakan bahwa tsunami sudah menjadi resiko dan jika tidak ingin terkena tsunami, lebih baik pindah ke daratan. Sementara itu, Tifatul Sembiring melalui akun twitternya pada 26 Oktober 2010 mengatakan bahwa bencana yang melanda negeri ini adalah azab Tuhan.
Pernyataan fatalistik tersebut menunjukkan bagaimana pola pikir para pejabat negeri ini dalam melihat bencana yang terjadi. Bencana dianggap sebagai sesuatu yang terjadi di luar kemampuan diri manusia sehingga kehadirannya harus diterima dengan pasrah dan lapang dada. Selain itu, pernyataan-pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa pejabat negeri ini ahistoris dalam membaca sejarah negeri ini. Sebagaimana dijelaskan Bernard H.M. Vlekke dalam bukunya Nusantara : Sejarah Indonesia (2008), letusan gunung berapi dan gempa bumi begitu rutin menyambangi nusantara. Institut Seismograf Jakarta mencatat biasanya terjadi dua tiga gempa kecil dalam sehari.
Sementara itu, catatan peta sejarah kegempaan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menunjukkan bahwa gempa tektonik berskala kecil maupun besar pernah melanda Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Jawa, sampai Sumatera. Catatan dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) bahkan menyatakan ada 28 daerah di Indonesia yang rawan gempa dan tsunami. Ini artinya hampir seluruh daerah di Indonesia kecuali Kalimantan pernah dan terancam mengalami gempa bumi. Kalimantan memang menjadi daerah yang paling aman dari ancaman gempa.
Pernyataan yang ahistoris tersebut tentu saja berakibat fatal. Sebab ini akan berpengaruh besar pada pola mitigasi bencana. Dimulai dari ketidaksiapan menghadapi bencana sampai pada respon terhadap bencana yang cenderung pasif-reaktif. Tidak mengherankan jika hampir di setiap bencana alam yang melanda kita sering mendengar bantuan dari pemerintah baru sampai di tempat kejadian bencana setelah berhari-hari. Tidak hanya itu, pengungsi pun harus menanggung penderitaan yang berlipat karena bantuan tak kunjung datang.
Di titik inilah kita patut menggugat fatalisme negara dalam memandang bencana. Meskipun bencana adalah faktor alam, tapi kehadirannya dapat diprediksi. Apalagi kita hidup tepat di atas ring of fire (cincin api) di mana terdapat rangkaian gunung api aktif di atas bumi Indonesia. Bencana tsunami dan gempa bumi di Mentawai tak perlu sampai memakan korban banyak sebanyak ini jika pemerintah mau lebih bekerja keras sehingga alat pendeteksi tsunami yang mengalami kerusakan bisa cepat diperbaiki. Bukankah potensi tsunami di Mentawai sudah diramalkan sejak tahun lalu?
Pendidikan Bencana
Pendidikan bencana berbasis kearifan lokal mesti dilakukan sedini mungkin sejak saat ini. Pendidikan yang membuat masyarakat bisa siap dalam menghadapi bencana yang muncul sewaktu-waktu. Jepang sudah memberikan pendidikan bencana bahkan kepada anak-anak yang masih bersekolah di sekolah dasar. Anak-anak di Jepang diberikan kisah mengenai kepahlawanan seorang kepala desa di daerah pesisir. Kepala desa ini menyuruh warganya naik ke bukit setelah air laut surut dengan drastis pasca gempa bumi yang terjadi. Warga menuruti perintah kepala sekolah dan setelah itu terjadi tsunami besar. Tidak ada yang menjadi korban.
Kisah itu diceritakan berulang-ulang kepada anak-anak agar mereka mampu memahami tanda-tanda alam yang muncul menjelang terjadinya bencana. Sebenarnya, pendidikan bencana berbasis kearifan lokal ala Jepang itu juga tumbuh dalam tradisi masyarakat Indonesia. Ini dijelaskan dalam buku Legend, Ritual, and Architecture on the Ring of Fire (2008) yang ditulis Koen Meyers dan Puteri Watson. Selain berisi tentang kearifan lokal masyarakat dalam menghadapi bencana, buku itu juga menjelaskan mengenai prinsip rancang bangun rumah yang tahan terhadap gempa dan tsunami.
Artinya, pada dasarnya kita sudah punya modal untuk melakukan pendidikan bencana. Modal sosial yang dimiliki tersebut menjadi modal yang cukup berharga untuk menghadapi bencana yang bisa datang kapan saja. Tinggal bagaimana pemerintah sebagai pemangku kebijakan sedikit bekerja keras. Kalau perlu, pemerintah harus mendeklarasikan diri sebagai negeri bencana agar bencana mendapat perhatian yang serius. Ini perlu dilakukan agar kita bisa belajar dari masa lalu dan tidak ahistoris seperti pernyataan-pernyataan yang diucapkan pejabat negeri ini.
Dengan demikian, dampak yang ditimbulkan bencana terhadap nyawa manusia bisa diminimalisir. Kerugian-kerugian yang tidak perlu dapat dihindarkan. Namun jika ini tidak dilakukan, maka jangan salahkan masyarakat jika mereka lebih memilih percaya kepada sosok seperti (almarhum) Mbah Maridjan daripada kepada peringatan bahaya yang dikeluarkan pemerintah.
Oleh: Wisnu Prasetya Utomo—Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM