Penulis : Rizal Mallarangeng
Judul : Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xxvi +155 halaman
Cetakan : September, 2010
Pers tidak pernah hidup dalam dunianya sendiri. Ia selalu menjadi aras yang tidak terpisahkan dari struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat. Tak heran jika sejak lama Fred Siebert membagi sistem pers ke dalam empat jenis, sistem pers liberal, otoriter, komunis, dan tanggung jawab sosial. Sebenarnya jika diperas, terlihat hanya ada dua sistem pers yang mendasar, liberal dan otoriter. Dua sistem yang lain hanya merupakan pengembangan. Meski memang tidak dapat dipungkiri bahwa sistem tersebut memperlihatkan dengan gamblang bahwa pers selalu menjadi subordinat dari struktur lebih besar di mana ia berada.
Sistem pers liberal menunjukkan bagaimana dalam sebuah negara demokratis, pers menjadi pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebagai pilar keempat, pers diasumsikan memiliki kekuatan yang determinan dalam menyediakan ruang publik deliberatif untuk membentuk masyarakat yang demokratis. Dengan demikian, pers mampu menjadi sarana untuk melakukan check and balances terhadap kekuasaaan negara.Sementara itu, sistem pers otoriter lahir dari sistem politik monarki di mana kekuatan negara (state-based powers) begitu dominan. Pers, menjadi bagian dari aparatus negara dan kepentingannya. Serangkaian perangkat pengaturan pers dibuat untuk memosisikan pers sebagai bagian dari kekuasaan.
Apa yang terjadi di Indonesia ketika era Orde Baru menjadi contoh yang menarik untuk melihat bagaimana sistem pers yang otoriter ini berlaku. Bagaimana tidak. Sejak gonjang-ganjing politik pasca 1 Oktober 1965, gerak kolektif dalam dinamika kehidupan masyarakat kemudian menjadi monopoli negara. Kecenderunganstate-oriented yang kemudian membuat negara menjadi surplus of power ini meruntuhkan kekuatan lain, termasuk pers. Menjadi wajar ketika pemerintah sering melakukan pembreidelan paksa terhadap media cetak yang kritis dan dianggap sebagai simpatisan komunis. David T. Hill dalam Press in the New Order (1994) mencatat bahwa di dekade awal terbentuknya rezim Orde Baru, 46 koran ditutup pemerintah, termasuk terbitan mahasiswa.
Buku Pers Orde Baru : Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya karya Rizal Mallarangeng ini mencoba memotret dinamika historis pers di era Orde Baru tersebut. Melalui dua harian, Kompas dan Suara Karya, Rizal menjelaskan posisi institusi pers dalam struktur politik melalui kinerjanya. Lebih spesifik, melalui tajuk rencana serta berita utama yang ditampilkan. Sebagaimana dikatakan Rizal, tajuk rencana dan berita utama merupakan rubrik yang terpenting bagi eksistensi sebuah media cetak. Dengan demikian, melalui dua rubrik tersebut akan terlihat jelas ke arah mana orientasi media yang bersangkutan.
Orientasi Informasi
Dalam buku ini, Rizal memaparkan bahwa kedua harian ini memiliki kecenderungan untuk menonjolkan orientasi informasi. Kecenderungan yang sama juga dilakukan oleh sebagian besar media cetak. Orientasi informasi ini melebihi orientasi terhadap pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Beberapa media cetak bahkan menghilangkan unsur kontrol sosial dalam terbitannya. Ini ditandai dengan tidak adanya kritik yang muncul, terutama kepada kekuasaan negara. Bahkan kalaupun muncul kritik, seringkali kritik sudah “dihaluskan” sedemikian rupa sehingga pihak yang dikritik tidak merasa sedang dikritik. Mengapa ini terjadi?
Franz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa kondisi ini terjadi karena etika Jawa dipraktikan betul oleh rezim Orde Baru. Prinsip keselarasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus dijaga demi terciptanya stabilitas ekonomi dan pembangunan. Karena itu, konflik harus dihindari, yang berbeda harus “disamakan” dengan berbagai cara. Hal yang mendasar agar terciptanya keselarasan adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Atau jika dibaca untuk melihat kondisi pers ketika itu, sistem sosial politik yang tengah berlaku.
Ini menjelaskan dilema yang dihadapi oleh pers. Menjadi subordinat rezim otoriter yang berkuasa sama artinya dengan melemparkan diri sendiri ke lembah nista. Sementara itu, bersikap kritis dan melawan pemerintah berarti menerima kebebasannya dibredel besok pagi. Tepat di titik persinggungan dilema itulah, orientasi informasi menjadi sebentuk kompromi yang dilakukan oleh para pekerja media saat itu.
Dengan meminjam dua harian di era Orde Baru tersebut, Rizal mengajak kita untuk memakai perspektif baru dalam memandang pers di Indonesia. Mula-mula, pembacaan maupun kritik terhadap pers tidak seharusnya dilihat hanya kepada sistem komunikasi an sich. Artinya, problem yang membuat pers memiliki orientasi tertentu tidak dapat dikatakan berada dalam pers tersebut. Meminjam istilah Van Peursen, ada “daya-daya tak berwajah” yang begitu kuat mencengkeram. Ini membuat kritik terhadap pers harus diletakkan dalam kerangka kritik terhadap sistem sosial politik .
Kondisi itu terjadi sampai sekarang. Jika ancaman terhadap pers di era Orde Baru adalah kekuatan negara yang begitu dominan, sekarang kondisi serupa pun terjadi meskipun era kebebasan pers sudah terbuka lebar. Kekuatan negara berkurang namun konglomerasi media menjadi ancaman yang tak kalah serius. Begitu. [Wisnu]